SA 8

45.8K 2.2K 18
                                    

"Sekolah aku gimana, Ma?" Tanya Sasa dengan wajah lesu.

Mereka baru saja menyelesaikan sarapannya. Hari ini Sasa dan Aksa masih bolos sekolah.

"Kamu tetap sekolah, empat bulan lagi kelulusan. Semoga kehamilan kamu masih bisa ditutupin." Kata sang Mama mengusap rambut Sasa yang duduk disebelahnya.

"Kita mau kalian tetap sekolah, setidaknya sampai lulus SMA." Sahut papa.

Aksa yang menyadari raut kesedihan Sasa, merasa tak tega. Bagaimanapun ini juga karna kesalahannya, yaa walaupun lebih banyak merasa gak bersalahnya sih.

"Kalian kan beda sekolah. Tapi besok-besok Aksa harus nganter jemput Sasa sekolah, ya." Kata Mama Sasa menoleh ke Aksa.

"Baik, Ma." Jawab Aksa sambil senyum terpaksa. Iyain aja dulu deh ya, besok-besok mah gimana kek.

Mereka memang bukan dari satu sekolah yang sama. Terlebih arah sekolah mereka yang sangat bertolak belakang. Jelas saja Aksa menjawab terpaksa. Aksa tuh pemalas, apalagi disuruh jadi tukang antarjemput, boros-borosin bensin saja.

***


"Ayah, beliin aku apartemen." Kata Aksa singkat pada ayahnya melalui sambungan telfon

Saat ini Aksa berada didalam kamar, dibalkon lebih tepatnya.

Sedangkan Sasa, Aksa tadi lihat dia sedang melipat pakaian dikasur, makanya dia milih nelfon Ayahnya dibalkon, biar Sasa gak dengar juga Aksa ngomong apa. Takut cepu.

"kamu ngaco! Rumah besar Aksa, tinggal disini bareng ayah!" Jawab Ayahnya ngegas, jelas Wafa tidak setuju. Selama ini dia tinggal hanya bersama Aksa aja, walaupun Aksa jarang pulang. Tapi kalau sampai Aksa benar-benar pindah, Wafa pasti semakin merasa sepi.

"Bodo, pokonya lusa harus udah ada!" Keukeh Aksa, kalo tinggal bareng Ayahnya terlalu banyak peraturan, ribet. Makanya Aksa kabur-kaburan mulu, balik kerumah kalo duit sudah habis aja.

"Tinggal bareng ayah kalo kamu gak nyaman disitu." Jawab Wafa, barangkali anaknya tidak nyaman tinggal bersama orang lain. Walaupun mertuanya sendiri.

"Emangnya Ayah pikir selama ini aku nyaman tinggal bareng Ayah?" Tanya Aksa sinis

Diseberang sana mendengar anaknya berbicara seperti itu, rasanya menyakitkan. Apa selama ini dia bukanlah rumah untuk anaknya?

"Kamu apa-apan sih!" Sentak Ayahnya dari sebrang sana, anaknya itu semakin lama semakin menjadi kurang ajar nya.

"Gak usah banyak omong, lusa harus udah ada." Telak nya tanpa menunggu jawaban, Aksa lebih dulu mematikan sambungan telfon nya.

"Kamu nelpon siapa?" Tanya Sasa tiba-tiba yang mengagetkan Aksa

"Ngagetin aja lo boncel!" Sentak Aksa kaget, mengelus dadanya.

"Hayoo ngaku, tadi kamu ngomong apartemen-apartemen gitu. Jangan macem-macem lho!" Ancam Sasa pada Aksa sambil menunjuk-nunjuk Aksa.

Sasa menaruh curiga pada Aksa, karna sedari tadi dikamar dia hanya bermain game. Lalu saat akan menelfon malah beranjak menjauh, sudah jelas agar Sasa gak mendengar percakapannya. Sasa memang ada menguping sedikit, tapi gak semuanya terdengar sih.

"Iya, mau BO dulu gua." Sahut Aksa santai, berjalan keranjang dan merebahkan tubuhnya.

Sasa mendelik "anak nakal!"

Aksa menatap Sasa malas, meladeni Sasa gak akan berhenti sekedar adu bacot saja, bisa-bisa dia mengajak untuk bertarung di atas ring.

Teringat sesuatu, Aksa kembali duduk, melipat kakinya menyilang. Menatap Sasa serius, Untuk beberapa detik dia tidak mengalihkan pandangannya. Sasa yang diperhatikan merasa risih, mengalihkan pandangan kearah lain.

SAKSA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang