16. Ditemani Hujan

122 21 3
                                    

Hujan membasahi tanah sejak tiga puluh menit yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan membasahi tanah sejak tiga puluh menit yang lalu. Angin dingin dan tempias air hujan menemani Hitomi dan Changbin yang baru saja mengobrol serius. Karena hujan yang mendadak turun, kedua anak itu sempat berlari dengan tergesa karena sedang mencari tempat untuk mengobrol dan malah berakhir di sini—di teras gedung pagelaran alun-alun kota.

Pagi ini memang tidak terlalu banyak orang, hanya saja teras gedung pagelaran jadi penuh dengan para warga yang meneduh, termasuk Changbin dan Hitomi yang duduk bersandar di pilar gedung seraya melihat rintik hujan dilangit pagi yang sudah menggelap.

Sedari tadi perasaan Hitomi tidak karuan, mengetahui tentang Changbin yang sudah memiliki kekasih karena dijodohkan oleh keluarganya. Tapi Changbin bilang, ia ingin mengakhiri hubungannya karena ia sudah muak. Hanya saja, Changbin tidak tau bagaimana mengakhirinya. Changbin menjelaskannya dengan nada yang sedikit gemetar. Ia takut Hitomi akan menjauhinya setelah ini, padahal ia juga tidak main-main dengan perasaannya.

"Kak." Alih-alih menengok, Changbin malah menggengam jemari Hitomi dan mengelusnya pelan.

"Maaf." Seraya memainkan kesepuluh jemari Hitomi digenggamannya. "Kakak gak tau kalo perasaan kakak jadi kaya gini. Jadi kepikiran terus, terus pengen ketemu lagi sama kamu."

Hitomi tertawa, "Yaudah sih, Kak. Kita 'kan baru kenal belum ada seminggu. Siapa tau Kakak berubah pikiran. Kita masih bisa jadi temen lho."

"Kalo Kakak gak mau cuma jadi temen gimana?" Hitomi hanya diam mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Changbin. Presensi Changbin di sebelahnya membuat jantung Hitomi berdebar. Ia mencoba untuk menetralkan perasaannya pada lelaki yang sebenarnya sudah memiliki kekasih ini.

"Jangan gitu, Kak. Pacar Kakak nanti marah."

Changbin mendengus, "Dia udah marah setiap hari."

"Tapi Kakak 'kan udah dijodohin. Gak boleh ngebantah orang tua, Kak," kata Hitomi dengan pelan sambil membalas genggaman Changbin.

"Kalo Kakak gak ngebantah, Kakak gak bisa nikmatin hidup, Dek. Kakak gak mau hidup Kakak diatur terus, Kakak gak mau hidup Kakak gak punya pilihan hidup sendiri padahal Kakak udah gede."

Hitomi diam. Ia menatap Changbin lekat-lekat, kemudian menjatuhkan kepalanya dibahu lebar Changbin. Changbin sempat tersentak walaupun bibirnya menukik ke atas menampilkan senyuman tipis. Laki-laki itu juga menyenderkan kepalanya di kepala Hitomi, lalu menghela napasnya pelan.

"Gampang banget sih Kakak buat ngebantah orang tua," desis Hitomi pelan yang membuat Changbin mengerutkan keningnya. "Aku malah gak bisa. Pilihan aku cuma satu, nurut sama Ibu. Hidup aku, sekolah, bahkan pekerjaan aku, semuanya diatur. Gak ada pilihan lain."

"Kenapa Adek gak bisa ngebantah?"

"Siapa yang mau ngurus aku kalo aku ngebantah Ibu? Aku udah gak punya siapa-siapa lagi."

Changbin bergeming. Tak membalas perkataan Hitomi, ia hanya menghirup wangi rambut Hitomi, sesekali mengelus jemari gadis itu pelan. Laki-laki berambut undercut itu selalu mengeluh tentang kehidupannya. Entah tentang peraturan kedua orang tuanya, hingga dia keluar dari rumah, dijodohkan, pekerjaannya, semuanya. Tapi Changbin baru tau ada yang lebih parah dari itu, Hitomi yang baru saja ia kenal. Rasa-rasanya gadis itu terkekang, hingga berbicara begitu kepada Changbin.

"Hujannya makin deres," lontar Hitomi yang dibalas dengan anggukkan oleh Changbin.

"Iya. Nunggu gak apa-apa 'kan?"

"Ya gak apa-apa, Kak."

"Nunggu kakak putus dulu juga gak apa-apa?" Hitomi mencubit perut Changbin keras sambil mengerucutkan bibirnya. Yang dicubit berteriak kesakitan seraya tertawa walaupun ia masih meringis.

"Bercanda ih Adek."

"Nyebelin banget."

Changbin gemas dengan Hitomi yang mengembungkan pipinya. Laki-laki itu malah mencubit pipi Hitomi pelan, membuat pipi gadis itu memerah dan kesakitan. "Sakit, Kak!"

"Gemes soalnya." Changbin tiba-tiba teringat dengan foto yang diupload Chaeryeong semalam. "Kamu satu kelas sama Chaeryeong ya, Dek?"

"Lho, Kakak kenal?"

"Kakaknya Chaeryeong itu pacar Kakak," jelas Changbin. "Semalem liat dia posting foto sama kamu. Makanya kakak jadi tau."

"Kakak lagi berantem ya sama pacarnya?"

"Kamu tau dari mana?"

"Hari rabu, Chaer berangkat duluan trus misuh-misuh gitu soal kakaknya. Abis itu dia bilang kakaknya lagi berantem sama pacarnya."

"Oh... Haha—emang sih."

Hitomi kemudian menatap Changbin, "Berantem kenapa?"

"Kakak gak suka diremehin, apalagi soal pekerjaan. Dia selalu tanya sama Kakak, kenapa fasilitas yang orang tua Kakak kasih malah gak dipake." Changbin kemudian menghela napasnya kasar, membuat Hitomi menggenggam tangannya erat. "Kakak part time di supermarket deket rumah jadi kasir. Gajinya lumayan banget. Dari situ Kakak bisa nabung. Dan dia bilang 'gimana mau hidupin aku kalau cuma jadi kasir?' Disitu, Kakak udah sakit hati. Dari yang sebel jadi makin sebel. Dari yang gak respect makin-makin lagi gak respect. Jadi gitu lah, Kakak muak."

Kepala Hitomi kembali disandarkannya ke bahu Changbin. Ekspresi laki-laki itu jadi gelap, Hitomi tidak suka. Ia lebih suka Changbin yang sedari tadi konyol dihadapannya.

"Kakak berusaha menghargai dia sebagai perempuan yang nanti bakal jadi istri kakak. Kakak tuh juga menghargai Ayah Kakak buat setuju dijodohin sama dia karena kita temen kecil. Tapi semakin lama, Kakak jadi semakin tau perempuan kaya dia gak bisa diajak susah. Padahal Kakak gak mau terus-terusan bergantung sama harta Ayah."

Changbin lagi-lagi mendengus, "Boro-boro dia ikut menghargai Kakak juga. Enggak pernah, dia gak akan pernah menghargai Kakak."

"Seenggaknya ngomong baik-baik dulu gitu, Kak."

"Nanti Kakak bakal ngomong baik-baik buat putus, biar Kakak bisa leluasa deketin kamu."

Pukulan pelan ditangan Changbin, membuat laki-laki itu tersenyum bersamaan dengan cahaya matahari pagi menjelang siang di atas sana terlihat. Padahal masih hujan deras, tapi awan kelabu yang sedari tadi menutup mentari, seperti bergeser. Selayaknya cahaya yang akan datang ditengah-tengah kegelapan yang menerpa.

 Selayaknya cahaya yang akan datang ditengah-tengah kegelapan yang menerpa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✓] RailroadsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang