"Aku takut."
Gerakan tangan Changbin yang sedang memainkan mi masih setengah matang di dalam panci, seketika terdiam. Ia mencoba menelaah suasana di seberang sana.
"Kenapa, Adek?"
Cukup lama balasan si gadis tembam, itu membuat perasaan Changbin jadi tidak enak, "Adek."
"Iya, Kak."
"Kamu kenapa? Ibu kamu belum pulang?"
"Engga kok. Cuma... aku takut sendirian aja. Hehe, aku gapapa. Cuma pengen ditemenin."
Mendengar sedikit nada aneh dari suara Hitomi di seberang sana membuat Changbin mengernyitkan dahinya, "Bener? Gak ada apa-apa, 'kan?"
"Engga ada, Kak."
Changbin menggigit kukunya, "Coba kamu hubungin Ibu kamu dulu. Nanti kamu telepon Kakak lagi."
Sambil mengaduk mi-nya yang sudah matang, Changbin mematikan kompornya dan berjalan ke luar dapur. Sekarang perasaan dia jadi tidak tenang karena Hitomi.
"Aku chat Ibuku dulu deh nanya kapan pulang. Kakak jangan matiin teleponnya."
"Iya, gak bakal Kakak matiin."
Changbin kembali ke dapur. Ia menekan loudspeaker di ponselnya agar bisa berkomunikasi dengan gadis itu sambil mengangkat mi-nya.
Bahkan Changbin sampai lupa memasukkan bumbu ke dalam mangkok saking khawatirnya dengan keadaan gadis itu yang ia tinggal sendiri di rumah.
Setelah menyiapkan mi rebusnya, tak ada tanda-tanda suara dari telepon. Tapi sambungan teleponnya belum terputus, berarti gadis itu benar-benar belum mematikan teleponnya.
"Adek."
Tak ada jawaban.
Suara hujan yang berisik bersahutan dengan suara petir, membuat Changbin makin tidak bisa menenangkan dirinya untuk tidak panik.
"Adek," panggilnya sekali lagi ke sambungan telepon itu, namun masih belum ada jawaban.
Changbin mengusap wajahnya gusar.
"Dek, jang--"
"K-kak Changbin."
"Adek ... kenapa?"
"Rumah aku mati lampu. Aku gak berani keluar."
"Udah ngabarin Ibu kamu?"
"Udah, katanya sekarang lagi di jalan mau pulang."
Changbin kemudian menghela napasnya pelan, "Kamu jangan bikin Kakak khawatir, Dek. Sumpah. Kakak jadi ngerasa bersalah nolak dibikinin teh sama kamu."
"Gak apa-apa, Kak. Aku biasa sendiri di rumah kok. Ini karena ujan deres aja sama mati lampu, aku jadi takut."
Seraya membawa mangkok mi rebusnya, Changbin berjalan menuju meja di ruang tv, "Kamu udah makan, Dek?"
"Belum. Nanti aja kalo lampu udah nyala sekalian nunggu Ibu."
"Kakak makan dulu ya. Kamu sambil dengerin kakak nyeruput mi biar gak sepi."
"Iya, Kak."
Suapan demi suapan Changbin geluti sambil sesekali sengaja menyeruput mi rebusnya di speaker ponsel agar Hitomi tidak kesepian di sana.
Changbin juga mendengar Hitomi tertawa pelan. Setidaknya gadis itu tidak merasa takut lagi, Changbin jadi sedikit tenang.
"Kak, nanti keselek."
"Enggak, Adek. Kakak makannya pelan-pelan."
Changbin tetap mengajak ngobrol Hitomi disela-sela makannya, hingga mi rebus yang ia makan telah habis tak tersisa. Ia belum mendengar jika ibu si gadis tembam itu pulang, jadi Changbin tidak berniat untuk mematikan sambungan telepon sama sekali.
Ia khawatir sekali dengan gadis itu. Bagaimanapun juga Hitomi adalah perempuan, dan Changbin yang notabene laki-laki lebih tua darinya merasa takut jika gadis itu kenapa-kenapa.
Walaupun pertemuan dan perkenalan mereka baru saja dimulai, tapi Changbin tidak mau membuat gadis itu merasa terintimidasi dengan kehadirannya.
Changbin membiarkan Hitomi mengoceh entah tentang sekolahnya ataupun tentang hal random seperti tugas sekolah, bahkan berdebat tentang lebih pedas cabai rawit merah atau rawit hijau. Mendengar suara gadis itu di seberang sana tidak terlalu aneh seperti tadi, membuat perasaan Changbin membaik. Setidaknya Changbin tau jika Hitomi sudah menurunkan kadar ketakutannya setelah berbincang dengan Changbin.
Dan Changbin mensyukuri hal itu.
"Oh, kayanya Ibu aku udah pulang."
"Yaudah kamu buka dulu sana pintunya."
"Kak Changbin, j-jangan matiin telepon dulu. Aku mastiin itu Ibu atau bukan."
Changbin terkekeh pelan, "Iya, Adek."
Sambil membawa mangkok bekas mi-nya ke wastafel dapur--masih dengan membawa ponselnya yang di loudspeaker--Changbin menunggu gadis itu memanggilnya lagi.
Perasaannya masih tidak tenang, jika kenyataannya Ibu dari gadis itu belum pulang.
Lalu tiba-tiba sambungan teleponnya mati. Membuat Changbin panik setengah mati.
Changbin kembali menekan panggilan ke gadis itu, mencoba menghubungi Hitomi. Namun nomornya tidak aktif.
You:
dek |
jgn bkin panik |
kok nmrnya gk aktif? |Pesan chat-nya belum terkirim, nomor Hitomi benar-benar tidak aktif.
Changbin uring-uringan di wastafel dapur. Niatnya ingin langsung mencuci mangkok bekas makanannya, malah tidak jadi karena mengingat-ingat kondisi Hitomi di rumahnya yang entah seperti apa. Ditambah lagi, keadaan Hitomi yang sendirian di rumah dan nada bicaranya yang aneh minta di temani tadi. Benar-benar membuat perasaan Changbin tidak karuan.
Apa Changbin harus menghampiri rumah gadis itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Railroads
Fiksi PenggemarMencari pilihan itu bukan suatu perkara mudah; kalau bisa memilih, mungkin Hitomi Yoon bisa saja sudah membunuh dirinya sendiri dari lama karena tuntutan sang ibunda. Mencari pilihan itu sebenarnya cukup mudah; Changbin Seo memilih untuk keluar dari...