BBI 20

428 37 3
                                    

Klik

Menutup sambungan telepon. Raut wajahnya terlihat gelisah sekaligus panik setelah mendapat kabar dari Karin bahwa SMA Rajawali tawuran.

Artinya Rizal pasti ikut peperangan itu. Siapa yang tidak tahu dengan Rizal? Cowok yang di kenal dengan segala kenakalannya seantero Rajawali.

Bodohnya Aisyah tidak bisa menghubungi Rizal, punya nomor nya saja tidak.

Dia mondar mandir sambil menggigit jari telunjuknya. Khawatir? Pasti. Sekarang Rizal sudah menjadi suaminya. Apa Aisyah mempunyai perasaan 'aneh' pada Rizal? Entah, sepertinya tidak. Ya, meskipun begitu ia tetap memberikan perhatian layaknya seorang istri.

"Hufftt ... Astagfirullah. Tenang, InsyaAllah ga pa-pa." Berulang kali menarik nafasnya agar bisa tenang.

Aisyah menuju kamar mandi untuk berwudhu untuk sholat isya karena tadi terlalu sibuk mengerjakan tugas yang begitu menumpuk.

Di dalam sholatnya ia berdoa agar keselamatan menyertai Rizal. Setelah melipat mukena ia turun ke bawah untuk memasak makan malam. Dari siang Aisyah sebenarnya belum makan. Tubuhnya sulit untuk di ajak kompromi. Makan sakit, ga makan tambah sakit. Serba salah.

Di pertengahan menuju tangga bawah ia mendadak berhenti, semua terasa berputar. Aisyah menahan tubuhnya dengan bersender pada tembok lalu duduk di anak tangga.

Aisyah membuka matanya lalu menggelengkan kepala, pusing yang di rasakannya sudah berkurang. Lalu dengan perlahan ia bangkit dan menuju ke dapur. Aneh, akhir-akhir ini Aisyah selalu merasakan pusing. Ah, mungkin kecapean.

"Bikin apa ya?" Melihat isi kulkas yang penuh dengan bahan makanan. Matanya berbinar ketika melihat daging ayam, wortel dan berbagai macam sayur lainnya.

"Kayaknya bikin sop ayam enak deh," ujar Aisyah. Satu persatu sayur ia keluarkan dari kulkas, jari-jari lentiknya begitu cekatan memotong sayur wortel.

Aisyah jadi teringat Umi nya. Sop ayam termasuk makanan favorit ia dan Uminya. Selalu ada saja canda tawa ketika Aisyah membantu memasak. Teringat senyumnya, perhatian dan selalu sabar mengarahkan Aisyah belajar membuat kue dan banyak lainnya.

Sudut bibirnya terangkat namun rindu sebenarnya membuncah ingin seperti dulu lagi. Rindu Bang Zulfan yang selalu menggodanya, tawa dari Umi dan Abi yang terdengar begitu tenang. Sholawat bersama-sama, nonton bareng ... Tapi sayang semuanya tidak akan bisa kembali lagi seperti dulu.

Duaarr

Suara gemuruh petir begitu menggelegar, membuyarkan lamunannya bahkan tidak sengaja jarinya tergores. Aisyah buru-buru mencuci telunjuknya. Hujan mulai turun sangat deras, dingin mulai menyeruak ke dalam rumah.

Karena di dalam begitu hening hanya suara hujan yang menghantam atap rumah, suasananya menjadi sedikit mencekam. Takut-takut ada hantu yang lewat, atau suara orang menangis, atau ... Aisyah menggeleng lalu beristighfar mengenyahkan segala pikiran buruk.

Untuk memecah keheningan Aisyah langsung menyambar benda pipih yang berada di kantong piyama yang ia gunakan lalu menyetel lantunan ayat suci Al-qur'an di handphone nya. Tenang, itulah yang di rasakan.

Ia terus mengaduk sopnya, aromanya tercium begitu menggiyurkan. Sesekali Aisyah mengikuti lantunan ayat suci Al-Qur'an yang ia hapal.

Jlepp

"AAA ... Umi, Abi, Abang, Aisyah takut ...." Lampu mendadak mati semua. Hanya secercah cahaya dari kompor saja yang ada semua gelap. Aisyah duduk terkulai lemas, menelungkupkan wajahnya di atas lutut.

Aisyah sangat takut dengan kegelapan. Hujan di luar semakin deras di tambah angin dan suara petir yang cukup membuat tubuhnya gemetar.

Ia terus menelungkupkan wajahnya dan merapalkan doa. Sungguh. Saat ini Aisyah sangat takut. Kompor sudah ia matikan. Bayangan kejadian dulu seperti terulang kembali. Ingin beranjak tapi susah, rumah yang lumayan besar ini hanya ada dirinya seorang. Handphone nya pun mati--lowbat

Cklek

Suara pintu terbuka terdengar derap langkah kaki dari sana. Suaranya semakin dekat ke arah dapur. Aisyah memejamkan matanya ia sudah pasrah.

"Umi ...." lirihnya.

Suara derap langkah kaki sudah tidak terdengar lagi. Aisyah tetap pada posisinya.

***

Rasanya tubuh terasa remuk, sialnya lagi hujan begitu besar. Melihat di sekeliling komplek perumahan semua lampunya padam. Mungkin mati lampu.

Berdiri di depan pintu yang ber cat putih tapi bergaya klasik lalu membukanya tapi tidak terkunci. Tumben sekali biasanya selalu dalam keadaan terkunci. Pada saat masuk tidak ada satu pun penerangan semuanya gelap. Apakah dia sudah tidur?

Ah, bodo amat tapi kenapa ceroboh sekali meninggalkan pintu yang tidak terkunci bagaimana jika ada maling masuk.

Dengan penglihatan yang sedikit temaram aku mulai berjalan menuju tangga dengan hati-hati.

"Umi...." Suara lirih seseorang membuat bulu kuduk ku merinding, mengusap leher yang tiba-tiba menjadi dingin. Apa mungkin kuntilanak? Tapi kenapa manggil Umi?

Suara itu terdengar lagi, karena penasaran aku memberanikan diri menghampiri suara tadi. Suara tersebut berasal dari dapur.

Dengan perlahan aku berjalan sebenarnya jantung mulai tidak bisa kompromi. Terlihat ada yang sedang duduk dengan menelungkupkan wajahnya, meskipun gelap tapi tetap terlihat bayangannya karena cahaya dari petir yang di pantulkan melalui jendela. Kok seperti di film horor yah?

Apakah dia Aisyah? Aku berjongkok di hadapannya. Ia dia Aisyah, suara rintihannya seperti ketakutan. Pundaknya ku tepuk membuat dirinya berjengkit kaget. Tubuh rasanya kaku ketika Aisyah langsung memeluk dengan tangisan yang semakin kencang.

"Tolong, jangan siksa aku. Tolong bawa Aisyah dari cowok jahat itu, dia-- hiks dia bakal ...." Suaranya begitu parau dia masih menangis dengan tubuh yang gemetar ketakutan.

Jlepp

Lampu sudah kembali terang, perlahan aku melepaskan pelukannya, dia masih menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Aku menurunkan tangannya yang begitu dingin dari wajahnya. Aisyah membulatkan matanya ketika pandangan kami bertubrukan. Matanya yang sembab, hidung mungilnya yang memerah dan bibirnya yang gemetar.

"Kok?"

"Bangun!"

Aisyah bangkit dan terduduk di kursi meja makan. Pipinya menjadi merah entah kenapa? Apa dia alergi.

Menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menyodorkan ke arah Aisyah. Tapi hanya di pandang saja dan menunjuk dirinya.

"Buat A-aku?" tanyanya polos. Aku hanya mengangguk.

Ia melirik ku, lalu menegak minumannya dan tersisa setengah.

Hanya keheningan beberapa menit. Bayangan Aisyah yang memeluk dan kata-katanya tadi terus berputar di otak ku.

"Maaf Kak," ucapnya dengan nada kecil. Aku menoleh.

"Maaf kalau aku lancang sama Kakak tadi aku bener-bener ga sengaja -meluk Kakak. Sama makasih." Makasih? Untuk apa?

Aku hanya menatapnya dingin, awalnya ingin marah tapi ucapan Aisyah tadi masih terngiang-ngiang.

Aku memejamkan mata dan bersender ke punggung kursi. Aku menoleh ketika rasa dingin dan sedikit sakit pada luka lebam yang berada di sudit bibir. Aisyah mengoleskan alkohol dengan telaten. Putri saja tidak pernah seperti ini. Pandanganku langsung tertuju ke arah matanya yang bulat namun meneduhkan. Wajahnya bersih tanpa satu pun goresan atau luka.

"Udah."

Aku tersadar lalu memperhatikan Aisyah yang membereskan tempat obat lalu menyimpannya di tempatnya. Gerak gerik nya tidak luput dari pandanganku.

"Kak, aku kompres itu luka nya mau?" tanyanya.

"Ga perlu." Aku bangkit dan melengos pergi menuju kamar.

Tidak tahu mengapa seperti ada perasaan bersalah, tidak enak, perasaan aneh. Ah! Tak taulah.

Aisyah memegang dadanya yang dari tadi terasa tak karuan. Ia berusaha mati-matian menahan napas ketika berhadapan dengan Rizal.





















~~JANGAN JADI SILENT GUYSS~~

VOTE COMENT NYA MANA?


Bad Boy InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang