4

59.5K 3.6K 513
                                    

       Happy Reading❤️

"Baru pulang kamu?" tanya Revo yang sedang menyesap kopi hitam favoritnya.

Yang ditanya hanya cuek dan melengos pergi begitu saja. Tidak mengindahkan pertanyaan dari lelaki paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.

"Bintang! Papa sedang bicara sama kamu! Mana sopan santunmu hah?!" ujar Revo, suaranya mulai naik satu oktaf.

Bintang menghentikan langkahnya saat hendak menaiki undakan tangga. Ia menoleh. Pria itu sedang menatap tajam ke arahnya. Tatapan yang selalu Bintang dapatkan ketika ia membuat kesalahan sedikit saja. Sudah biasa.

"Apa? Papa mau pukul Bintang? Papa mau tendang Bintang?!" tanya pemuda itu sarkas.

"Kamu ya! Jadi anak gak ada sopan santunnya sama sekali!" Revo menggeram marah.

"Dasar anak pembawa sial!"

Bintang mengepalkan tangannya kuat hingga buku-buku jarinya tercetak jelas. Ia benci saat kata-kata 'anak pembawa sial' itu keluar dari mulut papanya. Rasa sesak kian menjalar setiap mendengar tiga kata itu. Rasanya ingin marah, berteriak, dan melampiaskan semua emosinya.

"Udah bicaranya pah?!" tanya Bintang tak santai, membuat Revo semakin melotot geram.

"Kamu lihat Bima. Contoh kakakmu itu! Dia menjadi anak yang berprestasi di kampusnya karena selalu menuruti perintah papa. Bukan seperti kamu yang malah menjadi anak berandal dan pembangkang seperti ini! Tidak berguna!"

Ucapan papanya sontak membuat Bintang berdecih dan membuang muka. Selalu. Selalu saja seperti ini. Berdebat dengan papanya pasti hanya akan berujung dengan lekaki tua itu yang akhirnya membanding-bandingkan Bintang dengan kakaknya yang bernama Bima. Bintang sudah muak dengan semua ini. Ia paling tidak suka jika dibanding-bandingkan. Bintang ya Bintang! Bima ya Bima!

"Bintang selalu aja salah dimata papa, Bintang bukan Bima pah! Bintang cukup sadar kalau selama ini cuman jadi beban di keluarga ini! Gak berguna, anak pembawa sial, pembunuh! Semua itu selalu keluar dari mulut papa!" ucapnya dengan amarah yang menggebu. Dadanya sampai naik turun akibat geram menahan emosi.

"Apa papa bakal nyesel kalau kehilangan Bintang?"

Revo hanya terdiam saat pertanyaan itu terlontar dari mulut putra bungsunya. Membuat Bintang terkekeh sinis. Sudah pasti jawabannya TIDAK.

Bintang langsung berjalan menaiki satu-persatu anak tangga lalu membanting kuat pintu kamarnya. Meninggalkan Revo yang masih termenung di tempat.

***

Bintang turun dari kamar. Berjalan dengan sedikit tertatih ke arah dapur untuk mengambil minum. Ia meminum segelas air putih hingga tandas.

"Kaki aden kenapa? Sakit ya?" tanya Bi Imah yang sedari tadi memperhatikan Bintang. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan dapurnya.

Pemuda itu mengangguk. "Kemarin jatuh dari motor."

Air muka Bi Imah mendadak berubah khawatir. "Ya ampun, kok bisa? Hati-hati atuh den bawa motornya."

Bintang tersenyum kecil. "Namanya juga nasib Bi."

"Bibi urut mau? Kalau kakinya sakit gak boleh dibiarin begitu aja den. Nanti gak sembuh-sembuh," tawarnya. Kebetulan ia bisa mengurut.

Bintang mengangguk pelan. "Boleh Bi."

Wanita itu tersenyum. "Ya sudah. Bibi ambilkan dulu minyaknya ya?"

Bintang kembali mengangguk lalu duduk di sebuah kursi panjang. Bi Imah buru-buru mengambil minyak yang sering ia gunakan jika tubuh sedang pegal-pegal. Beberapa saat kemudian, ia sudah kembali dengan sebuah minyak urut di tangannya.

Bad Boy Is My Boyfriend [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang