Chapter 9

3.3K 485 323
                                    

Saat keluar kamar, Gilang langsung pasang muka datar karena papasan sama Lintang. Suasana hatinya masih ngga baik setelah kejadian semalam. Dan Lintang juga masih enggan buat nyapa Gilang karena takut adiknya makin marah.

"Mau ke mana lo?" tanya Bryan yang jalan dari arah dapur.

"Bukan urusan lo!" sahut Gilang ketus dan langsung pergi gitu aja.

"Gilang!" seru Bryan emosi dan Lintang langsung megang bahu kanan kembarannya.

"Biarin dia pergi, Yan. Suasana hatinya masih kurang baik. Dia butuh waktu sendiri," cegah Lintang.

"Tau gini mending gue ngga usah negur dia semalem," ucap Bryan nyesel.

"Udah terlanjur juga. Lagian dia udah dewasa, dia tau mana yang bener dan mana yang salah," sahut Lintang sambil mandang lurus ke depan.

"Gue berangkat kerja dulu," sambung Lintang pamit.

"Hati-hati," pesan Bryan dibalas anggukan oleh Lintang.












Dari dulu, Gilang emang masa bodoh dengan lingkungan sekitar kampusnya. Kuliah di kampus yang termasuk mahal bukanlah perkara mudah karena dia itu golongan mahasiswa kelas menengah bawah yang dapet beasiswa kuliah. Pasti ada aja golongan orang kelas atas yang sering ngrendahin harga diri dia walaupun Gilang ngga pernah cari masalah. Itu udah biasa, hukum alam.

"Eittss! Mau ke mana? Kok buru-buru gitu?" tanya seorang laki-laki yang seumuran dengan Gilang dengan dua antek-anteknya.

"Bukan urusan lo! Minggir!" sentak Gilang sambil hempasin tangan orang itu dari pundaknya.

"Santai dong, gue kan cuma tanya baik-baik," ucapnya sambil nepuk-nepuk pundak Gilang.

"Lo mau kerja ya?" tanya dia dengan senyum ngejek.

"Oh sorry! Gue lupa kalo lo itu kerja jadi badut," lanjutnya sambil pasang muka sok kagetnya dan nutup mulut, pura-pura keceplosan.

"Bisa diem ngga sih?!" desis Gilang sambil natap orang itu tajam.

"Kenapa? Takut rahasia lo terbongkar?" tanya dia remeh.

"Takut? Hahaha, mana ada gue takut cuma gara-gara lo keceplosan ngomongin soal kerjaan gue? Gue cuma nyuruh lo diem biar kuping gue ngga panas dengernya. Kan kasihan kuping suci gue harus denger suara setan," sahut Gilang santai membuat orang itu menggeram nahan emosi.

"Denger ya. Emangnya kalo semua orang tau kerjaan gue, lo bakal dianggap hebat? Keren? Definisi hebat dan keren itu, ketika lo udah bisa biayain kebutuhan lo sendiri dengan hasil kerja keras lo, daripada ngejek kerjaan orang tapi dirinya sendiri masih minta uang ke bokap nyokap. Semoga kelak nanti lo bisa jadi bos yang sukses, bro. Gue pergi dulu," ucap Gilang sebelum ninggalin orang yang masih bergeming di tempatnya.









.

.

.





"Bar, abang mohon, Bar," ucap Adit putus asa. Kini dia udah ada di apartemen Bara dan Ardian yang letaknya ngga jauh dari rumah Adit.

"Ngga, bang! Lo udah ngecewain gue. Lo kira semudah itu buat gue maafin kesalahan fatal lo?!" tolak Bara dengan muka dinginnya.

Jangan heran kenapa Bara udah ada di Indonesia lagi. Lima bulan setelah dia pergi ke Helsinki, dia bener-bener putus kontak sama trio bungsu. Ketika tanya sama Adit atau Ardian, pasti jawabannya sama. Mereka sibuk dan sebagainya. Semua itu membuat Bara yang dari awal udah ragu buat ninggalin adiknya, mutusin untuk kembali ke Indonesia. Dan dugaannya emang bener, ada yang ngga beres sama keadaan keluarganya. Trio bungsu Sanjaya hilang tanpa jejak. Itu semua karena perbuatan om dan tante mereka, juga Adit yang pindah tanpa bilang ke mereka lebih dulu.

We'll be Fine, Right? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang