Chapter 14

3.4K 515 284
                                    

Bryan duduk di ruang tengah dengan ditemani suara tv. Hari ini dia sedikit kacau setelah ketemu sama orang yang entah sejak kapan mulai dia benci. Orang yang selama ini dia harapkan ternyata ngga peduli sama sekali. Miris emang.

"Listrik bakalan naik kalo lo nyalain terus tvnya tanpa ada niatan mau nonton," Bryan membuyarkan lamunannya dan mendongak.

"Maaf," ucap Bryan pelan sambil matiin tvnya.

"Hahh," Lintang banting tubuhnya di sebelah Bryan dan buang nafas.

"Gue ketemu bang Ardi tadi," Lintang langsung natap Bryan yang nunduk sambil mainin jarinya.

"Lo... apa?" tanya Lintang memastikan.

"Gue ketemu sama abang kita, Tang. Tapi sayangnya dia ngga peduli waktu gue nyoba buat ngomong sama dia. Sakit rasanya," mata Bryan berkaca-kaca setelah mengingat kejadian tadi.

"Lebih sakit mana ketika abang lo sendiri nyuruh bos adeknya buat pecat dia di depan banyak orang?" tanya Lintang dengan senyum mirisnya.

"Lintang," Bryan natap Lintang ngga percaya.

"Sebelum lo ketemu bang Ardi, gue juga udah ketemu dia beberapa hari yang lalu. Dia bersikap seolah-olah gue ini cuma orang asing. Dan tadi siang gue ketemu lagi di cafe dan yah... karena itu gue ngga sengaja bikin kesalahan, berakhir lah gue dipecat," jelas Lintang dengan pandangan lurus ke depan.

"Lucu ngga sih? Kita menderita karena abang kita sendiri," ujar Bryan dengan kekehan hambar.

"Gue jadi makin yakin kalo mereka semua ngga pernah punya niatan buat nyari kita," ucap Lintang sambil mengepalkan tangannya.

"Gue benci sama mereka!" lanjutnya penuh penekanan.

"Lintang," Bryan ngambil kedua tangan kembarannya yang masih ngepal.

"Apa sih salah kita?! Dari dulu kita ngga pernah bisa bedain yang mana bahagia, yang mana cuma kepalsuan! Gue capek hidup kaya gini terus!" ucap Lintang penuh dengan amarah.

"Sabar, Tang. Jangan kaya gini," mohon Bryan sambil genggam tangan kembarannya erat. Tanpa sadar dia juga nangis karena terlalu sedih dan sakit. Mungkin kedengaran aneh. Seorang Lintang bisa seemosi itu, sementara Bryan yang biasanya emosi malah terlihat lebih sabar. Yahhh... mereka emang selalu begitu. Lintang tipikal orang yang selalu mendam emosinya, maka disaat dia lagi diposisi seperti sekarang, Bryan bertugas untuk menenangkan saudaranya.

"Sabar? Lo pikir selama ini gue ngapain selain sabar?! Gue udah nyoba buat sabar, tapi apa?! Hidup gue makin susah dan menyedihkan, Bryan!" ucap Lintang sambil natap Bryan marah.

"Assa-

"Bang, kalian kenapa?" tanya Gilang khawatir ketika melihat kedua abangnya yang sama-sama nangis.

"Ahh, kita gapapa kok," Bryan cepet-cepet lap bekas air matanya dan tersenyum ke arah Gilang.

"Muka lo kenapa? Abis tawuran?" tanya Lintang dingin setelah hapus air matanya juga.

Gilang sedikit heran dengan nada bicara Lintang, tapi dia mencoba bersikap biasa. Takutnya mereka jadi khawatir atau apa.

"Ahh, ini gue abis berantem sama preman," jawab Gilang sambil ngelus sudut bibirnya yang udah mulai lebam.

"Mau jadi jagoan apa komplotan premannya?" tanya Lintang lagi dengan ekspresi datar dan nada bicara yang masih dingin.

"Lintang," tegur Bryan pelan.

"Bang, lo kenapa sih? Ya kali gue mau jadi komplitan preman," ucap Gilang sambil duduk di single sofa samping Bryan dan Lintang.

"Ngga usah banyak tingkah, Gilang. Kita ini orang miskin, kuliah aja yang bener, biar ngga jadi parasit!" sebenernya Gilang bukanlah orang yang mudah kepancing emosi. Tapi entah kenapa saat denger abangnya ngomong gitu dia jadi emosi.

We'll be Fine, Right? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang