Tiga Puluh Delapan

617 42 7
                                    

Kantia's POV

Setelah beberapa detik berpandangan tanpa kata, perlahan Gusna menghampiriku. Ia sangat lunglai, tubuhnya terlihat jauh lebih kurus dari sebelumnya. Sekarang kami hanya berjarak satu langkah, dan dia tidak lagi kehujanan. Atap rumah ini sudah melindunginya.

"aku harus ganti baju dulu, setelah itu kita ngobrol" Gusna lalu berjalan melewatiku, dan tanpa perintah aku mengekorinya begitu saja.

Kududukkan tubuhku di atas kasurnya sambil menunggu Gusna selesai mengganti pakainnya di kamar mandi. Aku mendengar gemericik air, sepertinya Gusna mandi. Aku memeriksa ponselku, terlihat Arya mengirim banyak pesan, namun kuabaikan. Aku sedang tidak bersemangat untuk mengurusi hal itu.

Aku tidak menyadari keberadaan Gusna yang entah sudah berapa detik lamanya duduk di kursi menggosok rambutnya dengan handuk sambil menatapku. Tatapannya tidak sekosong tadi, namun masih terlihat sendu.

"kenapa kamu gak masuk sekolah Gus?" aku mencoba membuka perbincangan.

"males" jawabnya singkat, lalu beranjak untuk menyimpan handuknya.

Gusna kemudian mendudukkan tubuhnya di ujung kasur, memberi jarak denganku. Mataku tidak sengaja melihat meja di kamarnya, terlihat beberapa butir obat tersimpan di atas sana "kamu sakit?" tanyaku lagi.

"sedikit" jawabnya tanpa menatapku, ia seperti terlarut dengan pikirannya sendiri.

Ia beranjak membuka jendelanya, membiarkan angin yang sedikit riuh dan dingin masuk ke dalam ruangannya. Setelah itu ia kembali duduk ke tempat semula. Gorden-gorden terlihat terus bergerak melambai tertiup angin, persis seperti gorden yang aku lihat di loteng tadi.

"Gus maafin aku, maafin aku udah bikin kamu kayak gini" ucapku lirih, air mataku hampir berhasil keluar dari kelopaknya.

Gusna terlihat menggeleng "gak perlu minta maaf, gak ada yang salah. Semua alasan kamu untuk pergi memang benar dan seharusnya. Aku aja yang gak tahu diri terlalu memaksakan keadaan untuk bisa terus sama kamu" jawabnya.

Ia melanjutkan lagi kalimatnya "dan untuk aku yang sekarang jadi kayak gini, ini semua adalah akibat dari kelakuan aku sendiri. Aku yang terlalu cinta sama kamu, dan mempercayakan semua perasaan aku buat kamu"

Aku terdiam, Gusna selalu pandai bertutur kata, dan merendahkan dirinya. Semua itu selalu saja membuatku bungkam dan tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Gus, can I hug you?" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku, Gusna masih terdiam, ia hanya menatapku.

Aku memberanikan diriku menghampiri Gusna, rasa rinduku lebih banyak dibandingkan rasa takutku. Aku lalu memeluknya dengan sedemikian erat, menempelkan lagi telingaku ke dadanya, menghirup lagi aroma tubuhnya.

Gusna tidak bergeming, namun perlahan ia membalas pelukanku, dengan sama eratnya. Perlahan aku merasa tubuhnya bergetar, Gusna terisak, ia sudah tidak bisa lagi membendung segalanya. Ia memelukku semakin erat, seakan ingin melepas seluruh rindu yang selama ini terbendung dalam dirinya, dan seakan tengah menahan luka yang selama ini begitu menyiksa dirinya. Walau tanpa ucap, hanya sekedar pelukan, entah mengapa aku bisa merasakan semuanya. Mungkin ikatan batin kami sudah terlalu kuat.

"Kantia?" ia memanggilku sambil terisak.

"iya sayang?" jawabku sambil mengelus punggungnya.

"kemana lagi aku harus pulang, kemana lagi aku harus bicara menumpahkan semua keluh kesah?! Rasanya tenggorokan aku sakit, terlalu pengap, terlalu berat. Aku gak kuat untuk lebih tahan lagi" tangisnya semakin menjadi.

Kalimatnya terasa menghujamku, aku tidak bisa melihat ia semenderita ini "saat kamu pergi, semuanya terasa lebih berat. Jauh lebih berat dibandingkan saat aku belum mengenal kamu. Apa aku harus mengakhiri hidup aku aja, aku udah gak tahan Kantia"

The Time [GirlxGirl] (Editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang