Song to listen : Kanyaah by Nadin Amizah
"mungkin memang sudah waktunya untuk menyerah"
-Rega(flashback, sudut pandang Rega tiga bulan lalu)
Pemuda dengan kursi roda itu mengamati perawat yang berlalu lalang di koridor sambil mengepalkan tangannya kuat kuat. Pemuda itu gugup, sedari tadi ia menggoyang goyangkan kakinya untuk membantu meringankan rasa gugupnya. Namun nihil, rasa gugup itu masih ada.
Sesekali ia melirik pintu ruangan dokter, menunggu Bunda keluar dari sana dengan pengharapan kalau Bunda akan keluar sambil tersenyum lebar. Lagi lagi, pengharapannya gugur ketika melihat Bunda keluar dengan mata yang basah. Dokter pun menepuk pelan pundak Bunda, meliriknya sekilas sambil tersenyum sebelum akhirnya kembali masuk ke ruangannya.
Air mata Bunda tentu jadi pertanda kalau dirinya tidak baik baik saja. Dengan sekuat tenaga ia mencoba tersenyum supaya Bunda merasa lebih baik. Bunda sudah terlalu banyak menderita karenanya.
Apalagi satu bulan lalu, dimana dirinya sedang berada dalam fase jatuh sejatuh jatuhnya. Kala itu amarah selalu menyapa, setiap ia melihat dirinya di cermin, setiap ia ingat kehidupannya di Bandung yang indah kemarin kemarin. Ia marah karena tidak bisa menerima keadaannya, keadaan yang sangat ia sesali harus terjadi padanya.
"Bun?" panggil Rega pelan, "sudah, enggak apa apa".
Bunda benar benar tidak bisa menahan tangisnya. Ia bersimpuh di hadapan putranya itu sambil menggenggam kedua tangan dinginnya yang kurus. Rasa bersalah menghantui Bunda, rasa bersalah karena tidak bisa mengantar putra satu satunya ke gerbang bahagia.
"maafin Bunda nak," isak Bunda.
Rega tersenyum kemudian menarik Bunda untuk duduk di bangku ruang tunggu yang ada di sebelahnya. Rega mengambil sapu tangan di saku jaketnya kemudian menghapus air mata Bunda. Ah, sudah berapa banyak dosa Rega karena ia selalu jadi sebab jatuhnya air mata Bunda.
"kenapa Bunda minta maaf?" tanya Rega sambil menggenggam tangan Bunda, "enggak ada yang salah".
"Bunda sayang Biru, tapi Bunda enggak bisa kasih bahagia buat Biru, maafin Bunda ya Nak," kata Bunda.
"Bun," panggil Rega, "makasih banyak ya? Selama ini, Bunda selalu ajak Biru untuk berjuang bersama, Bunda selalu kuat, Bunda selalu menepis lelahnya Bunda buat ngurusin Biru".
"Biru anak Bunda,"
"Bun, Tuhan sayang Bunda, Tuhan sayang Biru," kata Rega, "Bunda, Tuhan mau kita berdua sama sama istirahat".
"Biru,"
"Tuhan mau Biru enggak sakit lagi, Tuhan juga mau kasih Bunda istirahat setelah kasih Bunda pekerjaan yang sangat berat, ngurusin Biru yang sakit sakitan," kata Rega.
Air mata Bunda mengalir sederas sungai, ia bawa tubuh ringkih putra satu satunya itu ke pelukannya. Rasanya sesak dan menyakitkan ketika melihat ekspresi Pak Dokter tadi. Saat Pak Dokter sudah merapalkan kata kata yang sumpah demi apapun, tidak ingin Bunda dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kulminasi Ilusi
Fanfiction[Completed] Dia punya banyak mimpi yang ingin diwujudkan sebelum waktunya habis, aku adalah puncak mimpinya yang paling tinggi.