21. mari bercerita

26 5 0
                                    

Pelajaran matematika telah usai, wanita paruh baya keluar dari kelas mipa2 setelah bel berbunyi menandakan waktu ia mengajar telah usai.

Mereka semua membereskan buku matematika dan memasukkannya ke dalam tas mereka, menggantikan buku pelajaran selanjutnya yang kini berada di atas meja mereka masing-masing.

Sejarah.

Guru yang mengajar sejarah mereka bisa dikatakan tampan. Tubuh tegap dan warna kulit yang kuning Langsat ditambah beliau mempunya bibir merah merona. Ciri-ciri seperti inilah yang seharusnya pantas menjadi polisi, bukan seperti yang kemarin Jasmine dan Daisy temui.

"Udah gak sabar lihat wajah tampan bapak sejarah," ujar Jasmine, ia membalikkan tubuhnya agar lebih mudah berbicara dengan Daisy dan Edelweis.

Jadi begini. Tempat duduk mereka hanya depan dan belakang saja, Daisy dan Edelweis yang duduk di belakang Jasmine, sedangkan Jasmine ia duduk dengan temannya yang termasuk kutu buku.

"Tubuh dia tegap, warna kulitnya kuning Langsat kayak perawatan aja. Tataan rambutnya rapih, bibirnya astaghfirullah," ujar Jasmine dengan nada yang sedikit heboh.

"Memang iya sih guru sejarah kita masih muda, kadang aku heran dia udah nikah apa ngak," ujar Edelweis.

Jasmine menjentikkan jarinya, "Mangkanya itu, kalau udah nikah ya zonk gada harapan. Ciri-ciri seperti guru sejarah ini yang seharusnya jadi polisi bukan bapak berperut buncit dan kulit hitam itu."

Jasmine berbicara dengan lesu namun ia kembali ceria. "Punya istri aja dia masih terlihat wow, apa gue harus jadi pelakor kali ya?"

Daisy menjitak kepala Jasmine, "Pemikirannya astaghfirullah, ah.. Jasmine tidak baik," ujar Daisy.

Jasmine mengusap kepalanya bekas jitakan Daisy. "Kan bagus tuh, asik," ujarnya.

Gila, yakali menjadi pelakor dia senang.

"Udahlah kayak gada pria yang masih single aja, ngapain malah mau jadi pelakor," ujar Daisy yang diangguki oleh Edelweis.

Jasmine hanya tertawa, "Yakali gue yang secantik ini mau jadi pelakor, lagian ngapain juga jadi pelakor, yang suka sama gue banyak pada ngantri banyak yang ganteng juga, tenang teman kalian yang cantik jelita ini tidak akan menjadi pelakor."

Daisy hanya mendengus kesal, pede sekali gadis di depannya ini.

Edelweis hanya tertawa pelan, kelakuan Jasmine membuat dirinya mempunyai kisah yang indah. Setidaknya hal itu sudah cukup membuat dunianya berwarna jika ia sudah tidak ada kelak. Sama seperti Daisy, gadis itu selalu memberikan nasihat dan dirinya juga banyak tertawa bersamanya. Ah Edelweis bahagia telah mengenal dua gadis itu sebagai sahabatnya.

"Kata kalian lebih baik milih kaya atau miskin?" Tanya Jasmine tiba tiba dengan tangan yang sudah memangku dagunya.

Tidak ada yang menjawab, Daisy dan Edelweis ia masih memikirkan kata kata yang pas untuk di ucapkan.

"Pasti semua orang milih kaya, siapa sih yang gamau jadi kaya? Kaya, kehidupannya sudah pasti terjamin, mau apa tinggal beli," ujar Edelweis.

Daisy menganggukkan kepalanya. "Iya bener kata Edelweis, hanya saja itukan hanya sebuah pilihan, tapi semuanya sudah ditentukan oleh yang kuasa. Kita hanya menjalani, menikmati dan mensyukuri."

"Tapikan kalau milih kaya semua tentunya gada yang miskin dong," ujar Jasmine membuat keduanya tersenyum.

"Mangkanya itu semua udah ditentukan oleh yang kuasa."

"Tapi sepertinya kek gimana ya, sepertinya gak adil gitu bagi yang miskin," ujar Jasmine.

"Adil yang maha kuasa itu adil kok," ujar Edelweis dengan cepat.

DaisyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang