Bab 4 - Cerita Mang Suradi

299 4 0
                                    

Segera Mang Suradi menyiapkan kamar tamu, menyiapkan perlengkapan mandi, handuk, sandal, pakaian ganti untuk tamu, sajadah di kamar, dan perlengkapan mandi. Mang Suradi sudah terbiasa melakukan itu semua.

Sangat cekatan. Mang Suradi meletakkan semua benda-benda itu di atas meja yang ada di kamar utama dan di kamar mandi. Lalu ke dapur menyiapkan makan malam untuk tamunya.

Tak lama kemudian adzan magrib berkumandang. Mang Suradi berpamitan untuk menunaikan kewajibannya. Tamu itupun memasuki kamar utama.

Selesai Shalat Magrib, Mang Suradi mengambil KItab Sucinya. Beberapa ayat dilantunkan dengan merdu dan benar. Lalu ia berdoa untuk kedua orang tuanya, kedua mertuanya, anak tunggalnya yang sudah meninggal ketika masih kecil, almarhum suami Ibu Sepuh, termasuk doa untuk kesembuhan Ibu Sepuh. Air matanya mengaburkan pandangannya. Betapa ia merasa kecil di hadapanNYA.

Selesai Mang Suradi shalat dan mengaji ia lalu ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk tamunya. Dari dalam kamar tamu terdengar suara ayat-ayat suci dibacakan. Ya, di setiap kamar disediakan Kitab Suci Al-Qur'an. Tamu itu membacanya. Suaranya merdu, syahdu dan menyentuh. Bacaannya tepat.

Tak terasa mata Mang Suradi berkaca-kaca. Sudah hampir empat hari ini ia tak mendengar ayat suci Al-Qur'an dibacakan oleh ibu Sepuh. Beliau dirawat. Ici juga selalu mengaji setiap hari. Suaranya lebih merdu dan bacaannya juga lebih tepat dari Mang Suradi. Mang Suradi sangat sayang pada kedua perempuan itu. Ibu Sepuh yang sudah Mang Suradi anggap ibu sendiri. Yang satu lagi Ici istri yang sangat dicintainya.

Ibu Sepuh sendiri menganggap Mang Suradi dan Bi Ici seperti anak kandung sendiri, bukan orang lain.

Meja makan kini sudah rapi. Masakan sudah terhidang. Penataannya mengundang selera makan. Ketika tak terdengar lagi tamu itu membaca Al-Qur'an, Mang Suradi mengetuk pintu kamar utama, kamar tamunya.

"Hahahaaa...," Mang Suradi tidak kuat menahan tawanya sendiri melihat penampilan tamunya sekarang. Kaos yang dipakai kedodoran. Nampak seperti bebegig sawah. Hantu-hantuan mirip orang yang biasa dipasang petani di tengah sawah untuk menakut-nakuti burung pemakan padi.

"Maaf, pak. Cuma ada ukuran itu,"

"Hahahaaa... iya, nggak pa-pa Mang. Sudah bagus ada buat ganti".

Sarung baru dengan kaos merah lengan panjang yang kedodoran di badan tamunya. Cuma tersisa ukuran itu. Di bagian depan kaos ada gambar air terjun dan tulisan Curug Cilember, Jawa Barat di bawah gambarnya.

"Ini semua serba kebesaran," tamu itu ikut tertawa sambil memperlihatkan ujung lengan kaosnya yang hampir menutupi seluruh telapak tangannya. Panjang kaosnya pun hampir setengah paha orang itu. Kaos ukuran XXXL untuk tubuh ukuran L.

"Kaosnya kebesaran, Mang. Tapi lumayanlah, hangat. Semua yang saya pakai saya lepas, saya ganti dengan sarung dan kaos ini. Untung yang dalam ukurannya pas ya, Mang, hahahaaa..." tamu itu tertawa lucu sambil menyerahkan semua pakaian yang tadi ia pakai ketika datang untuk dicuci seperti tawaran Mang Suradi. Mang Suradi pun membawanya ke mesin cuci dan mengoperasikannya.

Tamu itu kembali duduk di kursi makan yang tadi ia duduki. Ia mencubit ikan bakar itu dan memasukkan hasil cubitannya ke mulutnya. Mencicipi. Kelopak matanya mengerjap-kerjap. Wajahnya jadi tambah lucu ketika tanpa sengaja ada irisan cabe rawit merah yang ikut terkunyah. Buru-buru ia mengambil minum yang ada di gelas. Lupa kalau isinya air putih hangat. Wajahnya tampak memerah kepedasan dan kepanasan.

Mang Suradi tiba dari ruang mesin cuci dan tertegun melihat gerak-gerik tamunya. Mang Suradi menahan tawanya.

"Wah, Mang, ini enak sekali bumbunya. Pas. Mantap!" tamu itu memberi pujian dengan kedua ibu jarinya. Mulutnya masih mengunyah. Agak terkejut ia melihat Mang Suradi tiba-tiba sudah ada di ruang makan menatapnya.

Tamu Menjelang MagribTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang