Sejenak Dira terkesiap mendengar beberapa kata yang diucapkan Sam berbeda dari biasanya. Sikapnya pun lebih santun. Gerak-geriknya lebih menyejukkan. Tatapannya pun teduh. Air mukanya jauh lebih bersih dan cerah. Semua itu memberikan aura nyaman pada Dira.
Meskipun tetap saja mengejutkan Dira, Sam memanggil hanya namanya dan ber"kamu" dengan Dira. Ya, sudahlah.
"Sam, dari mana kamu tahu kalau Ibu tinggal di sini?"
"Dari seseorang yang sangat dekat denganmu," jawab Sam. Tak lepasnya tatapan Sam memandang wajah Dira. Sam ingat Aulian. Ya, dari Aulian si kecil yang polos menceritakan semua yang Sam ingin tahu tentang Eyang Putri ketika mereka tidur bersama di kamar tidur tamu rumah Azzam.
"Oh ya? Siapa?"
Sam tak menjawab. Hanya tersenyum. Tak mau menjawab. Biarlah suatu saat Dira tahu sendiri. Kalau saat itu memang ada.
"Nadira Sam," panggil Sam lembut. Iris mata mereka bertemu. Dira tak berani menatap lama. Air muka Sam sangat beda. Ini bukan Sam yang dia kenal. Sam yang ini lebih memiliki kharisma. Namun Dira tidak tahu kharisma apa. Hati Dira tergetar. Dira membuang muka memandang kebun kecil paviliun. Dira terlihat kikuk.
"Bolehkah aku minta padamu supaya kamu tidak menyebut "Ibu" untuk dirimu sendiri ketika berbicara dengan aku?' pinta Sam lembut.
"Maksudmu apa, Sam?"
"Ya, sebut saja dirimu sendiri dengan "saya" atau "aku". Supaya kita berada dalam kedudukan status yang sama", jelas Sam.
"Ibu tak terbiasa,"
"Pasti bisa dibiasakan,"
Dira mengernyitkan kedua alisnya.
Dira diam hanya memandang Sam. Berusaha mencari tahu isi hati Sam sebenarnya.
"Maukah kamu menggantinya?" suara Sam terdengar sangat memohon.
"Hmmmm, entahlah, Sam. Ibu.. eh.. saya sulit menerima ini, Sam". Dira luluh dengan permintaan Sam ini.
Dalam hati Sam bersorak dan bersyukur. Langkah pertama sudah berhasil. Alhamdulillah. Sam ingin menangis rasanya. Terharu.
"Nadira Sam, maafkan aku juga ya, kalau aku memanggilmu "kamu", bukan "ibu" lagi seperti dulu. Jujur, aku ingin kita berstatus setara, tidak berjarak. Kamu ikhlas, ya?"
"Saya Guru kamu, Sam. Sangat tidak sopan kamu memanggil Guru kamu tanpa sebutan "Ibu" atau "Bu" kepada Ibu," kata Dira sedikit ketus.
"Oh iya, aku tidak memungkiri bahwa kamu adalah Guru ku ketika SMA, sampai kapan pun kamu adalah Guru ku. Tetapi aku mohon keikhlasanmu, aku akan tetap memanggilmu "kamu". Aku ingin kamu menyadari bahwa sekarang tidak ada lagi perbedaan status Guru dan Murid atau Murid dan Guru. Yang ada adalah dua manusia dewasa berbeda jenisnya yang sekarang sama-sama sendiri dan yang keduanya saling jatuh cinta," kata Sam dengan yakinnya berusaha memberi pengertian pada Dira.
Dada Dira terasa sesak.
"Atau aku ganti "kamu" dengan panggilan kesayangan? Kira-kira apa, ya?" Sam menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Dira menghela nafasnya. Senyumnya tipis. Permintaan yang sangat sulit bagi Dira. Dira mengangguk tipis, tersenyum menatap Sam. Terserah Sam-lah.
"Alhamdulillah" Sam bersyukur.
"Nadira Sam, bertahun-tahun kita tidak pernah bertemu. Kabar berita pun tidak ada. Bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Sam mencairkan suasana yang masih kaku di antara mereka.
"Alhamdulillah, Ibu.. hmmm... saya ... baik-baik saja," jawab Dira kikuk.
"Terakhir kita bertemu ketika aku datang ke Rumah Jogjogan dan kamu mengusirku," Sam terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tamu Menjelang Magrib
RomanceKalau ada seribu orang yang kau kenal, maka akan ada seribu cerita berbeda tentang perjalanan hidup manusia. Termasuk perjalanan kisah cinta mereka. Kisah cinta dalam cerita ini salah satu dari yang seribu itu. Dikupas secara lembut dan detail "Tamu...