Bab 23 - Rumah Jogjogan

319 8 1
                                    


Selain memiliki Pesantren, Villa dan paviliunnya Dira juga memiliki sebuah rumah mungil, sangat mungil, agak jauh dari villa. Kalau berjalan kaki sekitar dua puluh menit sebelum gerbang Curug Cilember. Dira menamakan rumah mungil itu Rumah Jogjogan. Hampir setiap hari libur Dira menyempatkan juga ke rumah itu kalau sedang tidak disewa.

Suatu saat rumah Jogjogan sedang kosong, Dira memutuskan untuk tinggal sementara di rumah itu ditemani Bu Inah sambil merapikan rumah.

Pagi yang hangat sekitar pukul 06.00.

Dira keluar rumah untuk menyiram tanaman sambil mencari sinar matahari pagi.

"Assalamu'alaikum "

"Assalamu'alaikum ..."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi", jawab Dira setelah dua kali terdengar salam.

Ada apa orang pagi-pagi sudah menyambangi rumahnya?

"Maaf, pak, sebentar yaa", agak bersuara lebih keras Dira menyahut.

Dira mematikan air keran, menggeletakkan begitu saja selang air di atas rumput. Dibukanya pintu pagar.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi, Pak. Maaf lama menunggu" pelan suara Dira menyapa sambil membuka pintu gerbang.

Pintu pagar yang terbuat dari susunan papan yang rapat membuat orang yang dari dalam maupun dari luar tidak dapat langsung melihat orang di seberangnya. Begitu gerbang terbuka,

DEG!

Laki-laki yang ia tak ingin bertemu lagi. Selamanya.

Sam.

Dira menghela nafasnya malas.

Ya, Allah, kenapa ia bisa sampai di tempat ini? Air mata hampir tumpah.

Dira rindu tapi Dira tidak ingin bertemu saat ini dan seterusnya. Dira harus bisa mengendalikan perasaannya yang tak menentu.

Hampir lima tahun Dira berusaha menghindar dari laki-laki ini. WhatsAppnya tak pernah Dira balas. Telponnya tak pernah Dira angkat. Bahkan, akhirnya nomor handphonenya pun sudah Dira blokir sehingga laki-laki ini tidak akan pernah bisa menghubunginya lagi lewat telpon. Dira tidak akan bertemu dengan laki-laki ini. Titik.

Dira sudah mengambil keputusan itu sejak pertemuan terakhirnya dengan Sam ketika Sam datang mengucapkan belasungkawa di rumahnya atas meninggalnya suami Dira. Tepatnya, Dira yang pergi menjauh.

Ada kesalahan besar yang Dira belum bisa memaafkan dirinya sendiri, yaitu jatuh cinta pada muridnya sendiri dan beberapa kali Dira pernah berpelukan dengan Sam yang bukan muhrimnya walaupun Dira merasakan kenyamanan saat dalam pelukan Sam.

Kini Dira ingin sendiri, menyendiri dan mensucikan diri.

"Ibu Nadira Sam," laki-laki berkumis tipis itu berujar lembut, tersenyum di bibirnya yang tipis, menghembuskan nafasnya tipis, seperti merasa lega.

Sam mengulurkan tangannya mengajak Dira berjabat tangan. Refleks Dira hanya mensidekapkan kedua telapak tangannya di depan dada. Menganggukkan kepalanya, menghormat. Bagaimana pun Dira harus menghargai tamu.

Sam menarik kembali tangannya. Paham. Mereka bukan muhrim. Haram saling bersentuhan. Kalaulah dulu Dira sempat pernah berpelukan dengan Sam, itu karena rindu dan duka yang mendalam. Dira menyadari kesalahannya dan sangat menyadarinya. Penyesalan yang dalam membuat Dira bertaubat untuk itu. Dira pergi dan tidak ingin bertemu lagi.

"Sam..." lirih Dira menjawab sapaan laki-laki itu.

"Iya, Bu, saya Sam. Samuelnya Ibu," laki-laki itu tersenyum, masih seperti dulu.

Tamu Menjelang MagribTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang