"Setelah perceraianku dengan Miranda semua rumah dan kantor yang ada di Jakarta aku jual habis. Aku pindah ke Kalimantan. Aku membuka kantor baru," kata Sam.
"Di kota mana, Sam?"
"Samarinda," sejenak Sam ragu menyebut nama kotanya. Sam mempertimbangkan apakah harus diberi tahu sekarang? Namun Samarinda adalah wilayah yang sangat luas, maka Sam memberitahu Dira supaya Dira tidak curiga. Belum waktunya Dira tahu semuanya sekarang.
"Oh. Anak Ibu... maaf, anak saya, Azzam, juga di Samarinda," kata Dira.
"Oh ya?" Sam tersenyum.
"Di daerah mana?" tanya Sam bertanya, pura-pura tidak tahu tentang anak Dira.
"Sungai Kunjang," jawab Dira.
"Ooo ... ,"
"Kamu di daerah mana, Sam?" tanya Dira.
"Sungai Kunjang juga,"
"Oh yyaa...?! Mestinya kalian bertemu, ya," seru Dira bersemangat.
"Wilayah Sungai Kunjang sangat luas," kata Sam.
"Ibu ... hmmmm... saya sudah beberapa kali menginap di rumah Azzam,"
"Ya, kita pernah tidur di kasur yang sama, bantal yang sama, Nadira Sam" kata Sam dalam hati mengenang waktu itu. Sam tersenyum lebar.
"Lanjutkan ceritamu, Sam"
Ah, ternyata Dira sangat tertarik dengan cerita Sam. Suasana kaku antara keduanya sudah mulai mencair. Dira pun sudah mulai berani menatap mata Sam lebih lama. Sam rindu sorot mata Dira. Teduh dan hangat.
"Nah, waktu itu kantorku perlu tenaga baru. Lalu aku buka pendaftaran dan aku tertarik pada seorang muda. Dia santun, sederhana, cerdas, dan belakangan aku melihat dia sangat jujur dan amanah. Aku sangat terbantu dengan adanya dia, kantor berkembang pesat," Sam melanjutkan ceritanya.
"Kami sering kerja lembur sampai malam. Lama-lama aku kasihan sama dia. Aku ijinkan dia untuk menempati ruang kosong di kantor. Ruangan itu bersebelahan dengan kamar tidurku. O ya, rumahku persis di sebelah kantor." lanjut Sam menjelaskan.
"Rupanya anak muda itu sangat pandai mengaji. Suaranya lembut, syahdu, dengan irama yang sangat enak didengar. Bayangkan, Nadira Sam, setiap sebelum masuk waktu subuh dia mengaji, sesudah Shalat Magrib dia mengaji. Suara mengaji anak muda itu terdengar sampai ke kamarku. Awalnya aku merasa terganggu tapi lama-lama aku suka mendengarnya."
"Suatu saat aku merasa gelisah sampai berkeringat. Itu terjadi sampai beberapa malam. Terjadi perang antara pikiranku dengan perasaanku. Aku introspeksi diri. Aku selalu rindu mendengar Al-Qur'an dibaca,"
"Aku minta anak muda itu untuk merekam di hape-ku suaranya saat mengaji supaya aku bisa mendengar setiap saat, tidak hanya menjelang Subuh dan sesudah Magrib saja,"
"Aku sempat membeli Al-Qur'an tapi aku tidak bisa membacanya. Akhirnya yang aku baca ya terjemahannya saja. Aku sudah beberapa kali menamatkan membaca terjemahan Al-Qur'an," Sam tersenyum.
"Selain itu aku selalu mengamati perilaku anak muda itu. Setiap saat dia pasti sempatkan membaca Al-Qur'an sesibuk apa pun pekerjaannya. Begitu juga ketaatannya dalam menunaikan Shalat. Masyaa Allah. Sulit aku menirunya. Ibu yang mengandungnya dan melahirkannya pasti bahagia melihat anak sesoleh itu,"
"Karena aku tidak bisa membaca Al-Qur'an aku pergi ke Pesantren. Aku banyak berdiskusi dengan Pak Kyai dan Ustadz-Ustadz di sana. Akhirnya dengan penuh keikhlasan aku membaca Dua Kalimat Syahadat di Pesantren itu". Setelah itu hatiku terasa adem dan pikiranku tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tamu Menjelang Magrib
RomanceKalau ada seribu orang yang kau kenal, maka akan ada seribu cerita berbeda tentang perjalanan hidup manusia. Termasuk perjalanan kisah cinta mereka. Kisah cinta dalam cerita ini salah satu dari yang seribu itu. Dikupas secara lembut dan detail "Tamu...