Bab 3 - Obrolan

312 6 0
                                    

"Saya ke dapur sebentar ya, Pak, nyeduh kopi jahe buat Bapak. Permisi," sambil membungkuk sopan Mang Suradi pamit menuju dapur di sebelah ruang makan. Turun dua undakan.

Kepergian Mang Suradi digunakan tamu itu untuk melihat-lihat keadaan ruang dalam villa.

Berjalan kesana kemari membukai semua pintu yang ada disitu, melongok ke dalamnya dan memperhatikan isi di dalam setiap ruangan yang dijumpainya lalu menutupnya kembali. Termasuk menaiki tangga ke lantai atas dan berjalan-jalan membukai pintu-pintu yang ada di sana.

Di ruang makan ada dinding yang seluruhnya tertutup korden. Ia menyibak sedikit. Mengintip keluar. Gelap. Yang terlihat hanya ada teras cukup luas, seperangkat kursi kayu dan sebuah kursi panjang untuk bersantai serta sinar dari empat buah lampu taman. Pemandangan tertutup hujan dan gelapnya malam.Tamu itu berharap ia akan bisa menikmati duduk bersantai di teras sambil memandangi taman yang cukup luas dan bagus.

Tiba di depan pintu yang ternyata terkunci. Tamu itu berjalan kembali ke meja makan.

Suara tombol kompor gas terdengar. Tek. Lalu suara sendok kecil beradu dengan cangkir berdenting. Tidak lama kopi jahe sudah siap di nampan yang dibawa Mang Suradi bersama sepiring kecil talas berurap kelapa parut. Uapnya mengepul dan harumnya menguar mengisi ruangan dalam villa.

"Silakan diminum, Pak. Kebetulan masih ada talas kukus hangat. Enak, Pak, pakai urap kelapa".

Tamu itu minta agar kopi jahe diletakkan saja di meja makan. Dan, ia langsung menarik salah satu kursi, lalu duduk di dekat cangkir kopinya. Meniup sebentar lalu menyeruput.

"Maaf, Pak, masih panas", Mang Suradi terkejut, mencoba mengingatkan tamunya. Takutnya langsung diminum, bisa terbakar lidahnya. Kasihan tamunya.

"Hehehee... tenang, Mang. Minum kopi memang enaknya panas begini," tamunya tertawa ringan.

"Apalagi ada jahenya,"

Diseruputnya lagi air kopi jahe panas itu sambil sesekali meniupnya. Tamu itu nampak sangat menikmati setiap seruputannya. Dimakannya juga sepotong talas kukus. Dan, nambah lagi. Nambah lagi. Beberapa potong talas kukus dalam sekejab habis. Lapar sekali Bapak ini, pikir Mang Suradi.

"Enak,"

Mang Suradi mengamati saja gerak-gerik tamu itu. Tamu itu tak nampak canggung. Sikapnya menunjukkan seakan dia berada di rumahnya sendiri.

Sikapnya yang hangat terhadap Mang Suradi menguatkan itu. Sedangkan Mang Suradi baru mengenalnya saat ini.

Wajah tamu itu sekarang sudah semakin lebih jelas. Mang Suradi mencatat dalam pikirannya.

Umur kira-kira sudah lima puluhan, mungkin malah enam puluhan. Wajah lonjong. Warna kulit terang bersih. Ada kerutan di sudut matanya. Pipinya kurus. Kumisnya yang tipis nampak lebih jelas lagi terlihat di bawah sinar lampu yang menggantung di atas meja makan. Uban sedikit atau disemir? Sorot matanya tajam dan dalam namun terlihat lembut. Suaranya agak berat sedikit dengan logat khas orang seberang. Mirip Sulawesi.

"Mang Suradi, kita ngobrol, ya. Mang Suradi duduk deh".

Tamu itu menyulut sebatang rokok lagi dan menikmatinya. Padahal rokok yang pertama tadi hanya habis setengahnya saja. Dan sekarang tergeletak setengah remuk di dalam asbak. Kasihan.

"Ayo duduk, Mang. Nggak pa-pa," perintah tamu itu karena dilihatnya Mang Suradi tetap berdiri. Ia tak biasa duduk sejajar dengan tamunya. Itu bagian dari sopan santun menerima tamu. Ia akan tetap berdiri.

"Maaang, ayolah, duduk saja. Tidak apa-apa. Biar saya ada temannya. Biar ngobrol kita lebih enak,"

Tamu itu menatap Mang Suradi. Tegas tapi terlihat santai. Memerintah tapi lembut. Kaki kanannya disilangkan di atas kaki kirinya. Ada aura yang beda yang Mang Suradi rasakan. Mang Suradi merasa sangat nyaman.

Tamu Menjelang MagribTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang