Bab 5 - Semua Rindu

296 5 0
                                    

Tamu itu masih tetap bersandar di salah satu tiang kayu kongliong. Mang Suradi masih membakar jahe. Air di panci kecil bergagang kayu sudah mulai mendidih. Setelah jahe merata terbakar lalu dimasukkan ke dalam air mendidih dalam panci. Gula aren di cangkir besar sudah siap. Tak lama wedang jahe pun jadi. Uapnya mengepul. Harumnya seisi dapur dan ruang makan.

"Ibu Sepuh orang mana aslinya?" tanya tamu itu lagi.

"ibu Sepuh mah aslinya Jawa. Yogya".

"Kalau suaminya?"

"Bapak asli Sunda. Bandung".

Mang Suradi membawanya ke meja makan. Tamu itu mengikutinya dan kembali duduk di kursi semula. Mau tidak mau Mang Suradi duduk kembali dan menemaninya.

"O iya, kaosnya lumayan hangat walau agak kedodoran. Lengan panjang pula. Hangat sekali jadinya. Sarungnya juga, pakaian dalamnya juga... hahaha... Ibu Sepuh cermat betul ya, Mang, melayani tamu-tamunya. Sampai ke hal yang sekecil-kecilnya diperhatikan untuk tamunya. Apa selalu begitu, Mang?" tanya tamunya sambil mulai meniup-niup lalu menyeruput wedang jahenya..

"Iya, Pak. Ibu Sepuh orangnya pintar menyenangkan tamu, Pak. Semua tamu diperhatikan,"

"Mang, kalau disini Ibu Sepuh tidurnya dimana ya, Mang?" lanjut tamunya bertanya.

"Ibu Sepuh aslinya mah tidur di paviliun belakang villa ini, pak. Tapi kadang di pesantren juga,"

"Oo..., Ibu Sepuh lebih seringnya tidur di pesantren atau di paviliun sini, Mang?"

"Tidak nentu, pak. Kadang lamaa tidur di pesantren nggak kesini-sini. Bisa seminggu, dua minggu, malah pernah sampai sebulan nggak ke villa, tidur di pesantren."

"Terus sekarang Ibu Sepuh ada di paviliun?" tanya tamu itu penasaran.

"Tidak, Pak. Ibu Sepuh sekarang sedang tidak di sini," lanjut Mang Suradi.

"Di pesantren? Jauh dari sini?"

Mang Suradi ragu memberi tahu atau tidak, ya, ke tamu ini. Pesan Ibu Sepuh nggak usah cerita siapa-siapa kalau Ibu Sepuh sedang sakit apalagi dirawat.

"Di mana? Ibu Sepuh mala mini tidur di pesantren? Pesantrennya sebelah mana villa? Jauh, Mang?"

"Kesan suara tamu itu mendesak ingin tahu. Waddduh, kasih tahu nggak ya?" Mang Suradi berpikir keras.

Ah, nggak pa-pa deh, Mang Suradi merasa sangat nyaman kok dengan tamu ini. Pasti nggak pa-pa kalau Mang Suradi bercerita.

"Ibu Sepuh lagi dirawat, pak. Sudah empat hari ini,"

"O, ya?! Sakit apa?!" seru tamu itu terkejut.

"Kata dokternya sih cuma kecapekan,"

"Memangnya habis ngapain bisa sampai kecapekan, Mang?"

"Mungkin kecapekan di perjalanan, Pak. Kan, seminggu yang lalu baru pulang dari rumah anaknya yang di Kalimantan. Nah, rumah anaknya itu ke bandara teh jauh, naik mobil bisa enam jam gitu, kata Ibu Sepuh,"

Tamu itu manggut-manggut.

"Terus?"

"Begitu sampai di Jakarta langsung ke sini kan juga lama pak. Bisa dua jam kalau jalan lagi kosong. Tapi kemarin teh sempet kena macet di Ciawi. Jadi empat jam lebih. Nah, begitu sampai villa langsung jalan lagi ke Pesantren ngurus santri yang jatuh dari motor. Jadilah Ibu Sepuh benar-benar kecapekan. Mungkin memang lagi disuruh istirahat aja sama Allah,"

Sang tamu manggut-manggut sambil terus saja mengisap rokoknya. Diminumnya lagi wedang jahe yang sekarang sudah mulai dingin. Dipandanginya Mang Suradi. Ditanya-tanyalah tentang kehidupan Mang Suradi dan kembali bertanya tentang Ibu Sepuh, tentang villa. Macam-macam.

Tamu Menjelang MagribTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang