Mang Suradi berlari-lari kecil setengah merunduk menjaga keseimbangan tubuhnya agar jangan sampai terpeleset. Dirapatkannya kembangan payung ke kepalanya dan dipegangnya erat-erat tangkai payung. Payungnya besar.
Mang Suradi agak kesulitan berlari ketika angin menerpa cukup kuat. Serasa akan dibawa terbang ke langit. Akhir-akhir ini hujan selalu dibarengi dengan angin kencang dan suara menderu.
Walaupun Mang Suradi sudah menggulung ujung pipa celana panjangnya sampai lutut, dan ia telah memakai jas hujan yang cukup panjang, tetap saja kedua kaki bagian lutut ke bawahnya basah kuyup dan dingin.
Alas bawah sandal jepitnya juga sudah agak aus. Itu membuat licin saat bersentuhan dengan conblock berlumut di halaman. Di musim hujan begini, lumut lebih cepat tumbuh di conblock.
Hujan sore itu memang sungguh amat sangat lebat disertai angin yang membuat pohon-pohon besar di halaman meliuk-liuk bak penari lincah diiringi musik menghentak-hentak.
Cukup jauh jarak dari paviliun sampai ke gerbang depan. Tapi Mang Suradi harus segera sampai. Kasihan orang disana kalau terlalu lama menunggu.
Tadi, Mang Suradi sedang menikmati kopi pahit panas sambil makan talas rebus berurap kelapa parut. Youtube cara membuat soto kuning menemaninya. Ketika bel gerbang depan berdering di ruang dalam paviliun, Mang Suradi sontak berdiri. Ia sigap menghentikan kegiatannya.
Mang Suradi langsung ke teras paviliun yang terlindung dari tampias hujan.
Dari tempat itu Mang Suradi bisa langsung melihat jelas sampai ke arah gerbang depan. Jaraknya memang cukup jauh tapi itu sengaja dibuat seperti tempat pengintaian. Gerak gerik apa pun akan bisa terlihat cukup jelas.
Cuma sekarang jarak pandang tidak bisa lagi sejauh biasanya. Buram. Terhalang curahan hujan dan remangnya cuaca menjelang magrib. Mang Suradi melihat ada sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Lampunya menyorot ke dalam halaman. Seseorang berdiri di luar gerbang.
Kasihan orang yang datang itu. Pasti ia basah kuyup. Untuk memencet bel orang itu pasti harus keluar mobil di tengah hujan lebat sore itu. Cuaca kurang bersahabat. Satu jam lagi magrib tiba.
"Maaf pak, saya buka dulu kunci gerbangnya", kata Mang Suradi sambil berusaha membuka slot besar pintu gerbang dan sekaligus menahan goncangan tangkai payung. Syukur ia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu.
Setelah berhasil membuka kedua daun pintu gerbang, Mang Suradi menepi. Mempersilakan kendara tamunya masuk. Ah, benar, sepertinya tamu itu datang sendiri. Kendara besarnya masih nangkring di depan pintu gerbang masuk. Mesin masih dalam keadaan hidup. Tamu itu menghampiri Mang Suradi.
Mang Suradi mencoba mengenali orang itu. Seorang laki-laki. Kurus. Kumis tipis. Wajah tirus. Cukup tinggi. Setidaknya lebih tinggi dari tinggi Mang Suradi yang 147 sentimeter. Lebih tinggi Ici, istrinya, sepuluh sentimeter.
Kata orang tua kalau lebih tinggi istri rezekinya banyak. Ah, Mang Suradi mah banyak bersyukur saja sama Allah dengan keadaannya selama ini. Yang pasti mereka saling cinta setengah mati dan mereka sangat berbahagia hidup bersama menjalani perkawinannya.
Laki-laki tamu itu tak jelas usianya. Wajahnya samar karena sebagian terhalang oleh tutup kepala jas hujannya dan lebatnya hujan menjelang magrib. Lampu yang menyala terang di masing-masing gapura gerbang tak membuat wajah orang itu menjadi lebih jelas. Mang Suradi tak bisa mengenali lebih baik lagi. Ia mencoba berbaik sangka saja, orang itu adalah tamu villa yang sedang mencari penginapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tamu Menjelang Magrib
Roman d'amourKalau ada seribu orang yang kau kenal, maka akan ada seribu cerita berbeda tentang perjalanan hidup manusia. Termasuk perjalanan kisah cinta mereka. Kisah cinta dalam cerita ini salah satu dari yang seribu itu. Dikupas secara lembut dan detail "Tamu...