Tiga hari Alena di rumah sang Mama. Liam tidak tahu keadaan Alena yang sebenarnya, karena Alena sendiri yang tidak ingin Liam tahu. Sudah tiga hari juga Alena dan Liam tidak bertemu, Liam tidak mencari Alena, ia memberikan waktu dan membiarkan Alena untuk sendirian, tanpa bertemu dengannya. Hari ini keadaan Alena masih sama, kemarin ia sudah memeriksakan diri ke rumah sakit, Dokter menyarankan Alena di rawat di rumah sakit, tapi ia tidak ingin, ia hanya ingin dirawat di rumah saja dibandingkan di rumah sakit.
Alana menyuapkan nasi pada Alena, seperti itulah, untuk duduk saja Alena tidak punya tenaga, ia merasa badannya tidak mempunyai tenaga, bahkan sholat pun ia berbaring karena ia tidak sanggup bangun.
"Nah, gitu harus makan banyak, biar ada tenaga."
"Makasih ya Ma selalu ada untuk Alena. Maafkan Alena yang sudah membuat Mama susah, dari dulu Alena selalu saja menyusahkan Mama."
"Tidak menyusahkan sayang, ini sudah tanggung jawab Mama, menjaga kamu. Dengan cara inilah Mama menebus kesalahan Mama di masa lalu."
"Sudahlah Ma, jangan ingat masa lalu lagi. Alena sudah bahagia di masa sekarang, lebih bahagia dari yang dulu. Hem ... Sudah cukup Ma, sudah kenyang."
"Nah, sekarang minum obat ya."
"Iya Ma."
Alana menyodorkan obat pada Alena dan Alena langsung meneguk obat itu.
"Sekarang istirahat ya, mama mau ke bawah, kalau mau apa-apa bilang."
"Iya Ma."
Alana pergi dari kamar Alena sambil membawa nampan yang berisi piring bekas Alena makan.
"Kak Alena ... huwa ... kok Kakak sakit sih."
Alena tersenyum tipis mendengar ucapan Aliya. "Kalau sudah kehendakNya gimana? Dosa-dosa Kakak mau di gugurkan. Sama siapa ke sini?" tanya Alena dengan nada lemah.
"Abang. Em ... Abang mau liat keadaan Kakak."
Alena langsung menutupi rambutnya dengan selimut.
"Masuklah."
"Masuk Bang," ucap Aliya.
Afif yang merasa di panggil, akhirnya masuk ke dalam kamar Alena. Ia menatap Alena, wajah pucat Alena membuat Afif ikut sedih.
"Kak."
"Fif, makasih sudah repot-repot datang jengukin Kakak."
"Gak ngerepotin kok Kak. Semoga lekas sembuh ya Kak."
"Aamiin."
"Kakak jangan lupa lagi minum obat, kesehatan lebih penting Kak," ucap Aliya.
"Iya-iya, gak lupa lagi kok."
"Kakak harus sem_ aw..."
"Liya kenapa?" tanya Alena
"Sakit Kak, perut Liya sakit."
"Fif, apa jangan-jangan sudah mau lahiran?" tanya Alena.
"Bisa jadi Kak. Malam tadi juga sudah mulai kontraksi. Sakit banget ya?"
"Sa-sakit banget, Bang. Lebih sakit dari malam tadi."
"Ayo kita langsung ke rumah sakit." Afif sangat cemas melihat Aliya begitu juga dengan Alena, ia juga merasakan hal yang sama.
"Sakit Bang, sakit." Aliya memegang perutnya yang terasa sakit.
"Bismillah." Afif mengangkat Aliya untuk menuju mobil, ia harus membawa Liya ke rumah sakit.
"Semoga lancar, yang kuat Liy," ucap Alena.
"Ya Allah, semoga Aliya dan anak-anak dia selamat dan baik-baik saja."
Sepeninggal mereka, Alena terus mendoakan keselamatan untuk adiknya itu.
"Bunda."
"Tante Liya sudah pergi?"
"Sudah, Nenek ikut, jadi Luna yang jagain Bunda."
"Syukurlah, Luna doakan semoga Tante Liya dan dedek bayinya selamat ya."
"Iya Bunda. Luna mau sholat dulu."
"Iya sayang."
Luna pergi meninggalkan Alena, kini Alena sendiri di kamar. Alena kembali mengkhawatirkan Aliya, itulah yang Alena takutkan, Alena tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya saat melahirkan.
"Ekhem." Suara itu mengagetkan Alena.
Alena memalingkan wajahnya dan menatap orang itu, orang yang sebenarnya ia rindukan, siapa lagi kalau bukan Liam.
Liam menatap Alena yang terbaring lemah di atas kasur. Saat mama mertuanya mengabarkan bahwa Alena sakit, Liam terkejut dan rela meninggalkan meeting nya demi melihat keadaan Alena. Andai Alena tidak sakit, tidak mungkin Liam menemui Alena karena hubungan mereka sedang tidak baik.
"Kenapa kamu gak bilang kalau sakit? Kenapa malah bersembunyi? Kalau aku tau kamu sakit, sudah pasti aku akan selalu di samping kamu."
"Aku gak mau ganggu kamu," jawab Alena.
Ia duduk di atas kasur, tepat di samping Alena. Lalu kemudian ia meletakan tangannya ke dahi Alena.
"Panas, kita ke Dokter." Liam menggenggam tangan Alena yang terasa dingin.
"Sudah, kemarin."
"Maaf, karena aku tidak ada di samping kamu di saat kamu sakit."
Ucapan Liam membuat Alena ingin menangis. Alena mengambil sebuah amplop putih yang sudah ia siapkan sebelum ia sakit, kini waktunya ia memberikan amplop itu pada Liam.
Tangan Liam gemetaran saat ia membaca kop surat yang bertuliskan 'pengadilan'
Liam langsung menaruh surat itu di atas kasur. "Gak! Aku tidak mau! Aku tidak mau Alena, aku tidak mau!" ucap Liam
"Itulah yang terbaik untuk kita, Mas aku izinkan kamu mencari kebahagiaan, karena aku tidak bisa membahagiakan kamu."
"Jangan Alena, jangan ... aku tidak mau kita berpisah, aku tidak mau ... tolong jangan paksa aku!" Liam mengacak-acak rambutnya.
"Apa yang kamu harapkan dari aku yang penyakitan ini? Umurku sudah tidak lama lagi Mas, sebelum itu aku ingin kamu segera mendapatkan kebahagiaan dan move on dari aku."
"Kamu kira mudah mencari orang yang membuat kita nyaman? Tidak Alena tidak! Hanya kamu Alena wanita yang aku sayangi, tidak ada yang bisa menggantikan kamu, bahkan tidak akan ada!"
"Maafkan aku, Mas keputusan ku sudah bulat, aku tidak ingin menahan Mas lebih lama lagi denganku, aku tidak ingin Mas tersiksa, hiks ... Aku tidak ingin Mas sedih karena ku. Lepaskan aku Mas! Itu yang terbaik Mas."
"Tidak Alena, tidak!" Liam terduduk di lantai, ia benar-benar tidak menyangka Alena menyuruhnya untuk melepaskannya.
"Aku tidak akan melepaskan kamu!"
"Ini demi kebaikan kamu Mas hiks ... demi kebahagiaan kamu. Aku tidak pantas untuk kamu, kamu terlalu sempurna untukku."
Liam terduduk di lantai sambil memegang tangan Alena. Ia juga menangis, ia tidak sanggup jika harus menuruti keinginan Alena, ia tidak sanggup berpisah dengan Alena, apalagi Alena orang yang paling ia sayang. Liam tidak menyangka akhirnya menjadi seperti itu, Liam tidak menyangka Alena ingin ia melepaskannya.
TBC!
.
.Bonus biar kalian bisa tidur nyenyak!
.
.
.
Jangan lupa vote
.
.
Ig @yuyun_erlinna
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Kedua
General Fiction15+ Pernikahan yang Alena mimpikan, tak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Perjodohan yang konyol merusak harapan Alena untuk hidup bahagia bersama sang suami. Kedua orang tuanya bersepakat untuk menjodohkannya dengan anak teman sang ayah, yang akh...