Tujuh

21.2K 1.5K 76
                                    

Pagi-pagi Alena sudah pergi meninggalkan rumah, tanpa sarapan. Pagi-pagi sekali Alena sudah ada di kantor, saat orang-orang masih di rumah dan sarapan, Alena terlebih dahulu sampai di kantor. Ia menghindari Liam tapi hal itu sebenarnya tidak bisa ia hindari karena mau tidak mau, ia akan tetap bertemu pria itu.

Alena mengambil beberapa pil obat di tasnya, lalu ia meminumnya dengan tatapan kosong. Harinya semakin berat, ujian hidupnya semakin bertambah, tidak akan lama lagi, Alena sampai di gerbang perpisahan. Dari awal pernikahan, Liam sudah merencanakan untuk berpisah dengan Alena dan hal itu sudah Liam katakan dan tidak akan sampai 2 bulan, pernikahan mereka akan kandas dan hancur. Bukan harapan dan keinginan yang sudah Alena rencanakan, semuanya tidak sesuai apa yang dia bayangkan, takdir Allah tidak berpihak pada rencananya.

"Alena?"

Alena tersenyum tipis menatapnya.

"Ya Allah, pagi-pagi begini sudah ada di sini?"

"Iya, lagi pengen aja."

"Kamu kenapa?"

"Gapapa, aku baik-baik saja "

"Mata kamu sembab, merah lagi."

"Ah ini, mungkin karena aku begadang menyelesaikan proposal yang bos minta."

"Wajah kamu juga pucat, kamu sakit? Tuh obat apa?" tanya Ayu yang menyadari wajah pucat Alena

"Gak enak badan aja, makanya minum obat."

"Kan, kenapa gak istirahat di rumah aja."

"Susah minta izin sama bos, tau kan gimana bos?"

"Mau teh hangat gak? Aku bikinkan."

"Gak ah. Dah kamu ke ruangan sana."

"Aku itu khawatir."

"Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Dah sana."

"Iya-iya," ucap Ayu pergi meninggalkan Alena yang memijit keningnya.

Setelah cukup lama duduk, Alena beranjak dari kursi menuju pantry. Teh hangat salah satu minuman yang pas untuk menemani paginya.

"Pagi Alena."

"Pagi."

"Pagi-pagi sudah datang, rajin banget."

"Iya, lagi pengen aja," jawab Alena sembari melempar senyum kearah mereka.

Sesampainya di pantry, Alena mengambil cangkir, kemudian mengambil teh dan gula.

"Alena."

"Eh, Pak Hafiz? Kapan pulang dari Sabah, Pak?"

"Kemarin sampai sini. Pagi-pagi begini sudah membuat teh, di rumah gak sarapan? Gak minum?"

"Gak sempat Pak."

"Daniel yang nyuruh kamu pagi-pagi datang ke kantor? Dasar tuh anak."

"Bukan Pak. Pak, mau teh juga?" tawar Alena

"Boleh. Saya rindu minuman buatan kamu."

"Ah Bapak bisa aja," jawab Alena sambil mengambil satu cangkir lagi.

Setelah 3 menit kemudian, teh untuk Hafiz sudah jadi. Pria itu tersenyum manis mendapatkan secangkir teh hangat dari Alena. Setelah membuat teh. Mereka berdua keluar dari pantry dan menuju meja masing-masing. Sepanjang menuju meja, Alena dan Hafiz ngobrol-ngobrol, Hafiz menceritakan pengalaman lucunya di Sabah, itu berhasil membuat Alena tertawa, mudah bagi Alena untuk tertawa walaupun saat ini hatinya sedang berantakan. Tanpa Alena sadari Daniel ada di belakang mereka berdua, pria itu tidak suka Alena dekat dengan Hafiz, sahabatnya.

"Alena, ke ruangan saya!" ucap Daniel lalu melangkah mendahului mereka.

Alena menelan salivanya, jujur ia takut, nada bicara Daniel seperti orang yang sedang marah.

Alena meletakan cangkir tehnya, lalu kemudian ia melangkah memasuki ruangan Daniel.

Daniel menyuruh Alena masuk ke dalam ruangan pribadi yang ada di ruangan itu. Tanpa ragu, Alena masuk ke dalam ruangan itu. Daniel berjalan menuju pintu, lalu kemudian menguncinya, hal itu sukses membuat Alena terkejut.

Alena terdiam di tempat, ia tidak tau, apa yang ingin pria itu lakukan padanya.

Daniel berjalan mendekati Alena, beberapa kali Alena menelan salivanya, ia takut, mata Daniel menampakan bahwa dia sedang marah.

"Sudah berapa kali saya bilang, jangan dekat-dekat Hafiz!" ucap Daniel penuh dengan emosi.

"Kenapa? Terserah saya dong saya mau dekat dengan siapa."

"Dia suka kamu!"

"Saya tau, saya juga suka dia!"

Tiba-tiba Daniel mendorong tubuh Alena sampai tubuh Alena tersandar di didinding.

"Ba-bapak mau apa?"

"Kamu yang memaksa saya melakukan ini, Alena." Deru napasnya sudah memburu.

"Pa-pak ja-jangan."

Daniel menempelkan bibirnya di bibir Alena. Alena berusaha menjauhkan Daniel namun, ia tidak bisa, Alena tidak berdaya melawan Daniel.

"Engh..." Alena mengerjapkan matanya, menatap pria yang tengah melumat bibirnya. Alena tidak percaya apa yang saat ini Daniel perbuat. Daniel menciumnya secara kasar, membuat Alena tidak rela diperlukan seperti itu.

Daniel membuka kancing baju Alena, ia ingin bertindak lebih jauh, gairah telah memasukinya namun, Alena tidak hanya tinggal diam, ia berusaha melawannya, ia tidak ingin hal itu terjadi.

Alena berhasil mendorong tubuh Daniel untuk menjauhi bibirnya. Seketika Alena merasa lega.

"Apa yang Bapak inginkan, Hah?"

"Saya ingin hak saya!" jawabnya

"Bukankah Bapak tidak menginginkannya? Maaf saya tidak bisa memberikan hak Bapak, apalagi Bapak melakukannya tanpa Cinta, saya tidak ingin. Saya tidak ingin jika sampai mengandung anak Bapak sedang perpisahan sudah ada di depan kita!" ucap Alena.

Orang yang bernama lengkap Daniel Wiliam itu terdiam mencerna ucapan Alena. Walaupun Daniel berhak mendapatkan haknya, karena ia suaminya, Alena tidak akan memberikannya pada orang yang tidak mencintainya, walaupun sebenarnya ia menginginkan hal itu.

Alena memasang kembali kancing bajunya, lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan perasaan semakin hancur.

Alena menuju kamar mandi, ia ingin membasuh wajahnya terlebih bibirnya yang Daniel cium tadi. Alena benar-benar marah dengan pria itu, bisa-bisanya ia menciumnya secara kasar.

"Kau semakin membuatku terluka, Pak!"

Alena menatap dirinya di pantulan cermin yang ada di kamar mandi. Alena memejamkan matanya, mengingat kembali kejadian beberapa menit tadi. Air mata keluar dari sudut mata Alena, lagi dan lagi, air mata itu keluar.

"Aku benci hiks ... Aku benci kamu." Alena terisak pelan di dalam kamar mandi itu.

Perasaannya semakin terluka, andai Liam menciumnya secara lembut ia tidak akan melawan. Jika Liam memintanya dengan baik, Alena bisa mempertimbangkannya untuk memberikan haknya pada Liam, bahwa sesungguhnya, Alena juga menginginkan hal itu, ia ingin menjadi istri yang baik, menjadi istri sepenuhnya yang bisa menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri.

Setelah mencuci wajahnya dan memperbaiki pakaiannya yang berantakan. Alena melangkah keluar. Alena berniat kabur dan menghilang dari kantor, jika nanti Daniel memecatnya, Alena tidak masalah karena itulah yang terbaik untuknya. Yang hanya Alena butuhkan saat ini adalah menyendiri.

.
Jangan lupa vote dan komen
.
.

Kesempatan Kedua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang