Liam terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara azan subuh sudah berkumandang. Liam menatap Alena yang masih tidur dengan memeluk tangan kekar miliknya. Pagi-pagi Liam sudah tersenyum karena menatap wajah cantik Alena yang terlelap tidur. Liam merasa gemas sendiri melihatnya.
Setelah cukup puas menatap Alena. Dengan pelan Liam melepaskan genggaman tangan Alena. Tiba-tiba Liam terkejut saat menyentuh tangan Alena. Liam meletakkan tangannya di dahi Alena, ia kembali terkejut, merasakan hangatnya tubuh Alena.
Liam bergegas keluar kamar mengambil baskom kecil yang berisi air untuk mengompres kepala Alena. Ia benar-benar cemas dengan keadaan Alena, tiba-tiba wanita itu jatuh sakit, tidak bisanya Alena sakti seperti itu.
Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Liam meletakan baskom kecil itu, lalu mencelupkan handuk kecil. Setalah itu, ia letakkan handuk itu di atas kening Alena. Alena merasa terganggu saat merasakan ada sesuatu di dahinya.
"P-pak," ucap Alena dengan nada serak.
"Badan kamu panas banget. Kamu sakit?"
Alena memijit pelipisnya. "Cuma pusing kok."
"Kita ke Dokter?"
"Jangan! Saya gak mau. Nanti juga sembuh."
"Saya khawatir "
Alena tersenyum menatap Liam. Ia mengusap tangan Liam. "Jangan khawatir. Saya gapapa kok."
"Bisa-bisanya kamu tersenyum saat sakit kek gini."
"Biar Bapak gak khawatir lagi. Saya baik-baik aja." Alena mengusap wajah Liam.
"Kalau gak mau ke rumah sakit, saya panggilkan Dokter, mau?"
"Hem, gak deh. Saya takut di suntik," jawab Alena sambil mengecilkan suaranya.
"Kamu takut jarum suntik? Yang benar aja? Masa takut."
"I-iya."
"Kalau gitu gimana mau sembuh."
"Jarum suntik bukan satu-satunya ikhtiar agar bisa sembuh, minum obat juga bisa sembuh." Suara Alena begitu lemah. "Bapak siap kalau saya pergi?" tanyanya.
"Pergi ke mana? Kamu berencana mau pergi lagi?"
Alena mengangguk pelan. "Pergi ke alam yang berbeda."
Liam tidak mengerti apa maksud Alena. "Maksud kamu?"
"Pergi untuk selama-lamanya."
Liam tertegun mendengarnya. "Hei! Bicara apa? Kok ngomong gitu." Liam meletakkan kepalanya di atas dada Alena, sambil memeluknya.
"Perihal kematian memang tidak ada yang tau itu rahasia Allah kapan di mana itu sudah Allah rencana. Saya pun tidak tahu kapan kematian akan menghampiri saya, siapa tau hari ini, besok, minggu nanti atau detik ini kematian menghampiri saya gimana?"
"Alena, jangan bicara tentang itu, saya belum siap kehilangan kamu, saya gak mau."
Alena mengusap-usap kepala Liam. "Siap tidak siap, Allah tidak ingin tahu hal itu, kalau sudah waktunya, maka terjadilah."
"Stop! Kamu ini, semakin aneh ngomongnya."
Alena terkekeh pelan mendengar ucapan Liam. "Bapak sudah sholat?"
"Belum."
"Bapak sholat sana. Saya baik-baik saja."
"Baiklah, saya mandi dulu ya."
"Iya."
Cup
Liam mencium pipi Alena, lalu menjauh pergi menuju kamar mandi. Jantung Alena berdebar-debar karena mendapatkan ciuman dari Liam meski itu bukan pertama kalinya Liam menciumnya, ia masih saja merasa jantungnya berdebar. Alena memijit pelipisnya, ia merasa pusing dan badannya juga terasa panas. Sudah lama Alena tidak jatuh sakit karena selama ini ia cukup pintar menjaga kesehatannya, agar tidak jatuh sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Kedua
General Fiction15+ Pernikahan yang Alena mimpikan, tak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Perjodohan yang konyol merusak harapan Alena untuk hidup bahagia bersama sang suami. Kedua orang tuanya bersepakat untuk menjodohkannya dengan anak teman sang ayah, yang akh...