Sebelum baca, biasakan VOTE dulu ya. Btw, saya mau memberi tahu. Beberapa hari kedepan, MTAL akan lambat publish karena saya dan keluarga mau pergi ke Lampung. Hehehe, mohon di maklumkan ya. Saya mau refreshing otak. Siapa tahu dengan liburan, ide mengetik cerita saya lancar. Aamiin.
Semisal masih ada typo, saya mohon maaf ya. Karena saya ngetik ini cuma dua jam. Sistem ngebut, soalnya besok udah pergi. Happy reading, semoga suka ya dengan part kali ini😉
°°°
Di pagi hari sekali, sekitar jam tujuh. Ana baru selesai mandi dan sedang menyisir rambut di meja rias. Rambutnya masih saja basah, meski sudah ia usap menggunakan handuk. Di zaman ini, belum ada pengering rambut. Gara-gara hal sepele ini, pagi yang seharusnya cerah, jadi berantakan buat Ana.
"Gue mau pulang!" bentak Ana, menaruh sisir ke atas meja dengan gebrakan. "Gak mungkin gue pasrah sama keadaan! Tapi, gimana caranya bisa pulang?!"
Ana menatap dirinya di pantulan cermin. Tatkala melihat penampilan dirinya di tahun ini, seketika bibir Ana cemberut sedih. "Pakaian gue bahkan udah mirip gaya-gaya Mama dulu. Mama... Ana rindu Mama, rindu Papa. Dan gue rindu berantem sama Alaska. Di sini sepi Ma, Pa. Gak asik, gak bisa liat IG sama YouTube. Gak bisa update status, gak bisa streaming film, gak bisa siaran langsung. GAK BISA NGAPA-NGAPAIN, BORING!"
Ana menghela napas panjang setelah puas berceloteh sendiri. Ia masih menatap pantulannya di cermin. Rambut yang lepek dan wajah yang kusam. Sudah berapa hari ia tidak skincare-an?
"Aaaa, bisa-bisa muka gue kusam, jerawatan, ada komedo kalo gak makek skincare. Aaaa, gimana ini?! Jelek dong gue nanti!" rengek Ana menyentuh wajahnya.
Ana melamun menatap pantulannya di cermin. Pikiran Ana ke mana-mana, memusingkan bagaimana nasib wajahnya ke depan jika hidup lama di sini. Larut dalam lamunan, Ana jadi hilang fokus dan tidak menyadari ada seekor binatang terbang lalu hinggap di pundaknya.
Setelah agak sadar, Ana menyipitkan mata. Melihat pundaknya lewat cermin, ada sesuatu berwarna kecoklatan.
"Apa itu?"
Sesuatu berwarna coklat itu menimbulkan kepakan sayap. Lambat laun dengan perasaan takut, Ana memeriksa secara langsung pundaknya.
"AAAAAA KECOAAA!" jerit Ana, langsung menyibak kecoa itu dari pundaknya. Ana lari terbirit-birit menjauh dari meja rias.
Jeritan Ana yang sangat kencang ini, sampai ke telinga Pak Nas dan keluarga. Semua orang sudah berkumpul di meja makan untuk memulai sarapan. Ada Pierre juga di sana yang sudah berpakaian dinas lengkap. Tatkala pekikan Ana terdengar, sontak semua orang di meja makan menoleh ke sumber suara.
"Itu Ana, Nas! Cepat dilihat, dia kenapa! Ayo!" ajak Bu Nas, takut Ana dalam bahaya pasalnya teriakan Ana kencang sekali.
Brak!
"Ada apa, An?!"
Pintu Ana dibuka dengan kekuatan penuh. Dan yang membuka adalah Pak Nas. Di belakang pria itu, banyak orang yang mengekori. Terdiri dari Bu Nas, Yanti, Ade, Alpiah, Madiah, dan Alpiah, terakhir Pierre.
"Kak Ana kenapa teriak? Ada hantu beneran ya, Kak? Tuh kan, apa Yanti bilang. Tidak percaya sih." celoteh Yanti yang langsung Pierre beri teguran.
"Hush! Anak kecil tidak usah ikutan!"
Yanti mengerucut bibir, mendapati teguran Pierre. Pierre masih menganggapnya Anak kecil yang tidak boleh tahu urusan orang dewasa. Padahal usianya sudah tiga belas tahun. Ingin Yani menimpali, usia segitu tidak bisa di sebut Anak kecil lagi, melainkan beranjak dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me, the Adjutant's Lover (Pindah ke Karyakarsa)
Ficción históricaTertidur saat menonton film G30S/PKI bersama Papanya. Bangun-bangun Ana sudah berada di kediaman keluarga Jendral Besar Abdul Haris Nasution, salah satu pelaku film sejarah yang ia tonton. Selain bertemu Jendral Nasution, Ana juga bertemu keenam Jen...