13. MTAL - Romeonya Ana

7.4K 792 290
                                    

Maaf lambat banget publish, banyak tugas asli. Saya udah kelas 3 SMA gaes. Banyak kerjaan mau nyiapin SNMPTN, mendekati TO, minggu depan mau ujian sekolah (bukan UN) dan bentar lagi UTBK SBMPTN. Mohon dimaklumkan. Kenapa saya aktif di BataviLove, tapi di MTAL nggak? Karena saya sadar, saya sedang berada dalam suatu organisasi. Jadi, saya tidak bisa mencampur adukkan masalah pribadi ke kelompok.

Oke, sebelum baca, biasakan Vote dulu gaes! Semisal masih ada typo, saya mohon maaf karena manusia tidak luput dari kesalahan. Di comment juga dong, jangan biarkan lapak ini sepi please🙏😫. Happy reading!

°°°

Ana keluar dari dalam rumah menuju teras. Ia berdiri memandangi lapangan rumah Pak Nas di sore hari. Suasana hatinya selalu tenang di sini. Berbeda di Jakarta tahun semestinya ia hidup. Udara di sana kotor, sedangkan di sini masih segar. Pemandangannya pun asri. Ada juga keuntungan dari musibah yang ia alami.

"Tapi di sini gabut, cuk. Pierre juga gak ada lagi, jadi gak ada objek buat dijahilin." gumam Ana, mendadak suasana hatinya buruk. Pierre sedang tidak ada di rumah. Ia sedang bertugas. Biasanya sore hari Pierre akan pulang bersama Pak Nas. Berarti sebentar lagi.

Terlepas dari suasana di sini membuat Ana nyaman, Ana tetap merindukan rumah. Ana merindukan keluarga kecilnya yang setiap hari ramai tidak ada ketenangan, sebab ulah Alaska. Ia cepat bosan di sini. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Jika tugas rumah selesai, Ana paling masuk kamar diam di pojokan.

Ade dan Yanti kadang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Yanti Anak sekolahan, disibukkan oleh tugas-tugas dari Guru. Ade sendiri, sampai sekarang Ana tidak mengerti anak usia lima tahun itu memiliki kesibukan semacam apa. Sampai bermain dengannya saja tidak sempat.

"Sore begini enaknya sunmori, tapi pakek apa coba?" gumam Ana, matanya berputar ke segala arah, dan berhenti di sebuah sepeda yang pernah ia coba.

Melihat sepeda itu, Ana merasa flashback seketika. Luka lecet di lututnya belum sembuh benar. Sekujur tubuh Ana langsung merinding.

"Njir, trauma gue. Nggak ah, next! Gak mau nyari penyakit."

Angin datang berhembus, menerpa kulit wajahnya. Perlahan mata Ana tertutup. Hembusan angin ini Ana nikmati.

Ana mengambil napas panjang, membiarkan angin yang datang masuk ke dalam paru-parunya. "Rileks, An rileks. Coba bawa tenang kayak di Pantai. Kalo lo banyak pikiran mulu, lo bisa cepet tua. Skincare barang langka di sini."

Setelah memenangkan diri sendiri, Ana lalu membuka matanya. Hal pertama yang Ana lihat adalah lapangan dan Paviliun Ajudan di sebelah kanan. Tepat di teras Paviliun Ajudan, Ana menemukan sosok Hamdan.

Dari kejauhan, Ana mengamati aktivitas pria itu. Hamdan tampak mengambil posisi duduk. Satu tangannya membawa secangkir kopi, sementara tangan lainnya menenteng gitar.

Menemukan Hamdan, seketika terbit senyum miring di bibir Ana. "Gak ada Pierre, Bang Hamdan pun jadi."

Kaki Ana kemudian melangkah. Arah jalan wanita itu menuju Paviliun Ajudan.  Hamdan yang hendak memetik gitar, tidak jadi lantaran melihat kedatangan Ana. Buru-buru Hamdan menaruh gitar itu di sebelahnya.

"Ada apa, An, kemari? Mau mencari Pierre? Pierre belum pulang."

"Widiihh, Bang! Emang gue kemari cuma mau nyari Pierre doang? Kagak lah! Gue gabut." ucap Ana, langsung mengambil tempat duduk di sebelah Hamdan.

"Gabut? Apa itu gabut?" tanya Hamdan tidak mengerti.

Sejenak Ana dibuat terdiam. Ia juga bingung harus menjelaskan ke Hamdan bagaimana. Salah dia mengapa tidak menyaring kata-kata dulu sebelum berucap.

Me, the Adjutant's Lover (Pindah ke Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang