22. MTAL - Surat Perintah Presiden

5.2K 555 267
                                    

Hati-hati ranjau typo bertebaran di mana-mana. Udah di revisi, tapi maklum Authornya manusia jadi bisa khilaf. Jangan lupa seperti biasa sebelum baca BIASAKAN VOTE DULU & JANGAN LUPA SPAM COMMENT🤗.

Note: Setelah part ini bakal jarang update karena saya sudah masuk kuliah offline, dan sedang sibuk mengurus ospek MABA. Tolong baca penjelasan saya dengan baik di akhir part nanti🙏

Happy reading😘

°°°

DOR!!!

Tembakan itu melesat ke udara. Semua orang menegang di tempat atas tindakan Ana. Mereka pikir, Ana benar-benar akan menarik pelatuk tepat di kepala pria asing itu.

Beberapa detik setelah tembakan peluru itu, Ana dengan gerakan gesit langsung mengunci kedua tangan pria tadi dan mendorongnya ke meja. Kemudian Ana kembali menodongkan pisau ke kepalanya. Posisi pria itu terhimpit oleh tubuh Ana di meja.

"Katakan, siapa pesuruhmu?" tanya Ana tepat di telinga pria itu.

"Tidak tahu!" bentak pria itu tetap tidak mau jujur. Habis kesabaran, Ana berteriak geram sembari menyentak kuat tubuh pria itu di meja.

"TINGGAL NGOMONG AJA ANYINK, GUE GIBENG BENERAN AMNESIA LO!"

"Ana sudah!" bentak Pak Nas tegas. Pak Nas menatap mata Ana yang nyalang dengan tatapan memohon. "Serahkan saja dia ke kami. Kami yang akan mengurus."

"An, kami lebih paham soal ini." tambah Pak Yani membantu Pak Nas meyakinkan Ana.

Ana masih diam belum bergerak. Dia tidak yakin. Ana ingin pria ini dapat jujur di tangannya. Pasalnya pria tersebut hampir mencelakai nyawanya dengan menodongkan pistol lebih dulu.

"Anasthasya."

Kali ini Pierre yang bersuara. Ana menoleh ke pria itu. Pria itu tidak berbicara apapun setelahnya. Hanya menunjukkan tatapannya yang tenang, namun Ana merasa diyakinkan. Bujukan Pak Nas maupun Pak Yani, hanya tatapan Pierre yang mampu meluluhkan.

"Oke, tapi Ana ikut kalian." kata Ana, pada akhirnya pria itu Ana serahkan ke Pak Nas.

Ana berjalan menuju Pierre dengan mengentak-hentakan kakinya. Bibir wanita itu cemberut sebal. Pierre menyambut kedatangan Ana yang mendekat. Begitu jarak ia dan Ana sudah sejengkal, Pierre merangkul Ana.

"Sudah, jangan cemberut begitu." Pierre memasangkan kerudung Ana yang terjatuh. "Tutupi ubun-ubunmu, nanti kena angin duduk."

Ana memukul Pierre. "Gak usah sok ngelawak, gue lagi gak mood ketawa sekarang. Gue kalo lagi badmood, bawaannya pengen nelen orang."

"Waduh, seram." balas Pierre, memasang wajah pura-pura takut. Ana yang melihat itu tambah kesal. Akhirnya sepanjang jalan Ana merengek habis-habisan.

Aidit memandang Ana dan Pierre yang berjalan melewatinya. Pandangan pria itu tak terputus meski hanya punggung yang dapat ia tatap. Memang Aidit sedari tadi berada di lokasi kejadian, hanya saja mengamati dari kejauhan.

"Pak, Anda tidak pulang?"

Seorang pria berkaca mata bulat, tinggi, kurus dan berkulit sawo matang mendekati Aidit. Dia adalah Nyoto, wakil ketua CC PKI yang sangat dekat dengan D.N. Aidit.

"Belum. Aku ingin di sini sampai pekerjaan kita tuntas, meski ujung-ujungnya aku tau ini tidak akan berhasil." jawab Aidit. Aidit kemudian mengarahkan tatapan sepenuhnya ke Nyoto. "Kau tahu wanita yang berbaju merah?"

"Yang duduk bersama Bapak tadi?"

"Ya, yang duduk di antara dua Jenderal kepercayaan." terdapat jeda di ucapannya. Aidit mengisap rokok sejenak, lantas berucap lagi. "Anasthasya Princessa Nasution. Masukan nama itu di dalam daftar incaran."

Me, the Adjutant's Lover (Pindah ke Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang