Sebuah ruangan yang sangat luas itu telah ramai oleh pelajar yang hendak menampilkan kemahiran mereka. Suasana ketegangan yang membuat detak jantung berirama kencang memberi hawa dingin di semua permukaan kulit, ditambah pendingin udara yang cukup banyak dengan suhu rendah. Kemegahan ukiran modern yang berakulturasi dengan kekhasan budaya setempat menghias dinding-dinding kokoh dengan nuansa keemasan, dipercantik dengan lima lampu gantung kristal swarovski. Di bagian depan ballroom yang menjadi pusat pandangan mata para peserta lomba terdapat panggung berbentuk persegi empat dengan dekorasi modern.
Zaraa masih saja terkagum dengan keindahan itu, padahal untuk kedua kalinya dia singgah di sana. Hari ini adalah hari kedua dari rangkaian perlombaan. Kalau kemarin dia duduk di sebuah kursi yang berpasangan dengan satu meja, sekarang dia menempati sebuah kursi dengan sarung warna emas yang disusun teratur untuk para peserta.
Rangkaian doa-doa yang terlantun dalam hati sudah Zaraa akhiri. Dia melihat satu persatu pelajar yang memasuki ruangan melalui pintu utama, masih ada sepuluh menit sebelum perlombaan dimulai. Gadis dengan sebuah kartu identitas yang menggantung di leher itu memilih membuka aplikasi chat di handphone-nya. Tentu dengan sinyal yang berkoneksi dengan cepat. Abid telah memberi kartu telkomsel untuknya tadi pagi.
Getaran yang berkelanjutan dengan jarak hitungan satu detik menandakan telah banyak pesan masuk. Zaraa melihat semua pengirim pesan yang memberi semangat dan doa. Namun, dia memilih membalas nanti. Saat hendak menekan tombol keluar, satu pesan masuk membuatnya mengurungkan niat.
Abid El Adnan
Semangat, semoga lancar.
Zaraa mengulas senyum kecil. Debaran hangat menyalurkan ketenangan. Seperti kemarin yang telah lancar di hari lomba pertama, semoga hari ini juga. Walaupun sampai detik saat mereka terakhir bertemu, Abid masih bersikap dingin. Kepeduliannya tidak pernah luntur.
Zaraa Keyra
Makasih
•••
Saat mentari mendekati posisi puncak yang membuat bayangan berada pada garis lurus dengan benda, Zaraa keluar dari ruang perlombaan. Dia baru saja menyelesaikan penampilan terbaik di atas panggung utama. Seharusnya semua peserta akan keluar dari sana ketika selesai acara. Namun, Zaraa yang merasa sekujur tubuhnya terasa dingin, meminta izin keluar. Hari ini adalah hari pertama dia menstruasi, rasa nyeri di perut membuat tubuhnya lemas. Abid mengerutkan kening melihat Zaraa yang berdiri di depan pintu utama.
“Bu Ran, Zaraa udah keluar.” Abid memberi tahu Bu Rani yang duduk bersamanya di kursi bawah pohon.
Bu Rani yang semula sibuk dengan handphone, langsung mencari siswi kebanggannya itu. ”Ayo ke sana!”
Begitu mereka saling berhadapan. Bu Rani mendadak cemas karena melihat perubahan aura Zaraa. “Zaraa, kamu kenapa pucat?”
Abid lebih khawatir dari itu. “Lo nggak apa-apa? Duduk dulu aja.”
“Aku—“ Belum sempat menyelesaikan ucapannya, tubuh Zaraa mendadak lemas. Abid yang sigap langsung merengkuhnya dari samping. Beberapa saat kemudian, gadis itu kehilangan kesadarannya.
“Abid, ayo bawa dia ke ruang kesehatan!” titah Bu Rani panik.
Dengan langkah kaki yang lebar dan gerakan secepat mungkin, Abid membobong Zaraa ke ruangan yang telah disediakan di sekitar hotel untuk menampung peserta yang sakit. Detak jantungnya berpacu cepat. Keringat dingin mulai menempel di pelipis dan dahi cowok itu.
•••
Abid mengerjapkan kedua kelopak matanya saat telinganya menangkap sayup-sayup suara seorang gadis. Dia baru tersadar dari tidur sekilas. Menemani Zaraa yang enggan membuka mata selama satu jam, membuat rasa kantuk menyerangnya.
“Kenapa kamu berubah?”
“Aku nggak suka kamu marah-marah.”
“Jangan berantem!”
“Aku nggak mau kamu terluka.”
“Aku sayang kamu, Abid.”
Seketika perasaan bersalah menguasai keseluruhan ruang rasa yang ada di tubuhnya. Gadis itu mengatakan kejujuran di luar kesadarannya. Tidak ada nada kebohongan dalam suara pelan itu. Abid menatap gadis yang sedang berbaring di hadapannya dengan kedua bola mata berselaput air yang tipis. Seakan menyalurkan kata hati yang tidak mampu diutarakan melalui mulut yang membisu itu. Tidak tahu harus berkata apa.
Satu hal yang baru dia sadari bahwa cinta mereka masih sama, mungkin semakin besar saat berjuta ujian menjadi penghalang. Kenapa Abid bisa berpikir buruk tentang dia? Dia merasa kesal dengan dirinya sendiri, menciptakan sebuah kepalan begitu kuat pada kedua telapaknya yang bertopang di atas ranjang. Namun, erangan yang tertahan menjelma sebuah setitik air yang menetes tepat di punggung tangan Zaraa yang terletak lurus dengan tubuhnya. Menyalurkan sebuah cahaya yang mengantarkan Zaraa pada ruang kesadarannya.
Saar kedua kelopak mata yang baru saja tertutup itu terbuka sempurna, Zaraa sedikit terkejut melihat seorang cowok di sampingnya yang menumpukan dahi di atas ranjang. Rasa nyeri di perutnya belum hilang semua. Tubuhnya masih terasa lemas. Hanya ada sedikit energi untuk menguatkannya membuka suara.
“A-abid.”
Abid mendongak seketika, menatap sendu gadis yang memanggilnya. “Aku di sini, Zar. Gimana keadaan kamu? Minum dulu, ya!” Abid beranjak mengambil minum dari atas nakas yang berada pada jarak satu meter dari ranjang. Dia tidak memberikan gelas pada Zaraa, sehingga gadis berhijab itu terpaksa meneguk air dari gelas yang digenggam oleh Abid. Berada pada jarak yang cukup dekat, pandangan mereka bertemu. Zaraa baru sadar bahwa Abid telah kembali berkata lembut dengan menggunakan ‘aku-kamu’.
Setelah air dalam gelas bening itu tandas, Abid kembali duduk. Lalu kembali menatap Zaraa. ”Maafin aku, Zar.”
Zaraa mengernyitkan dahi, lalu membuka mata. ”Kenapa minta maaf?”
“Aku banyak salah, udah kasar sama kamu dan Kak Rio. Aku udah menuduh kamu yang nggak-nggak. Aku benar-benar minta maaf, Zar,” ucap Abid parau.
Zaraa tersenyum lebar, tidak peduli dengan latar belakang perubahan sikap Abid. ”Alhamdulillah kamu udah sadar. Maafin aku juga, ya! Aku juga bersalah karena—“
“Sstt ... kamu nggak salah.” Abid menghentikan ucapan Zaraa. Mereka saling melempar senyum. Rangkaian kalimat mengalir begitu saja. Mulai saat itu, setiap detiknya akan menjadi kisah yang dapat diabadikan menjadi alasan dari senyum yang terukir.
Thanks For Readers❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir [END]
Teen FictionSebuah prinsip yang sudah mendarah daging pada diri Zaraa Keyra, membuatnya berpikir bahwa dia akan terhindar dari hitam dan putihnya jatuh cinta. Semula, di usia remaja dia hanya ingin fokus mengejar cita-cita dan menebar kebaikan. Namun, ternyata...