26. Yang Tersirat dalam Drama

41 1 0
                                    

"Saat keberadaanku tidak penting lagi. Haruskah aku tetap menjaga perasaanmu? Bahkan tanpa aku, kamu tetap baik-baik saja."

-Abid El Adnan

——————

Seorang gadis cantik yang sudah mulai berdamai dengan hatinya, tengah menatap cermin persegi panjang yang cukup besar di samping rak berisi koleksi buku. Abaya hitam  berenda cokelat sudah melekat pada tubuhnya dengan rapi. Setelah selesai mengoleskan celak hitam pada kedua kelopak mata bagian bawah, Zaraa mulai memasangkan jilbab pashmina brown sebagai mahkota di kepalanya.

Mencoba untuk tenang. Walaupun pikiran itu terus melayang pada ingatan bahwa beberapa jam lagi,dia akan kembali berjuang di medan perlombaan yang diadakan di kota Medan. Semua persiapan selama seminggu lebih, sudah dia lakukan dengan baik. Rio yang ditunjuk untuk melatih Zaraa sudah melakukan tugas dengan baik. Sekarang waktunya menghadap guru senior untuk mempersembahkan penampilan terbaiknya, anggap saja sebagai latihan yang terakhir sebelum dia berangkat nanti, dini hari.

Masih ada durasi satu jam lebih tiga puluh menit menuju waktu pertemuannya dengan guru senior bahasa Arab. Sebelum memenuhi janji untuk pergi ke sekolahnya, Zaraa menyempatkan diri untuk singgah di toko buku Al Kautsar. Dia ingin menemui Attar. Oleh karena itu, setelah latihan pidato sendiri di kamar tadi, Zaraa segera mandi dan menunaikan salat zuhur begitu mendengar suara azan.

Zaraa tengah memakirkan kendaraan di halaman toko buku milik abahnya, setelah beberapa menit menghabiskan waktu untuk perjalanan menggunakan motor scoopy hitam. Begitu selesai melepas helm dan meletakkannya di atas jok motor bagian depan, dia segera berhambur ke dalam untuk menemui abahnya.

Zaraa mendapati Attar tengah duduk bersama seorang pegawai kasir. "Assalamu'alaikum, Abah."

Mendengar suara yang dia yakini dari putri kecilnya, Attar segela menoleh dan tersenyum mengetahui dugaannya tepat. "Wa'alaikumussalam, anak abah yang selalu cantik," jawab Attar menatap kagum anak semata wayangnya.

Zaraa terkekeh sambil mencium punggung tangan kanan Attar. "Anak ummah juga, Bah."

"Iya, sayang. Nah, gini dong, semangat. Mau berangkat ke sekolah jam berapa?" tanya Attar sambil mengelus puncak kepala Zaraa yang terbalut jilbab.

Saat Zaraa hendak membuka suara. Dia menoleh ke arah pria bermasker yang baru saja menuju kasir untuk membayar beberapa tumpukan buku. Zaraa memfokuskan penglihatannya, jarang sekali ada pria dewasa berbalut setelan jas hitam di tubuhnya membeli buku. Dia merasa aneh, untuk apa pria itu membeli buku novel.

"Zaraa?" tanya Attar setelah beberapa detik tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya.

"Eh, iya, Bah. Aku berangkat jam satu," jawab Zaraa cepat sambil mengambil duduk di sofa taylor yang ada di belakang ruang kasir.

"Tadi sudah latihan? Sudah istirahat? Sudah makan? Jangan sampai lelah, Zaraa. Nanti dini hari kamu harus berangkat," tanya Attar dengan rasa khawatir.

"Udah, Bah," jawab Zaraa pelan seraya tersenyum. "Abah janji, 'kan? Mau mengantar Zaraa sampai bandara."

"Iya, nanti abah mau lembur. Setelah itu kita bersiap-siap," jawab Attar. Tanpa ayah dan anak itu sadari, seorang pria yang baru saja mengambil paper bag berisi novel di meja kasir, tertawa lebar dalam hati. Dia pria yang tadi Zaraa lihat dengan pandangan aneh.

"Kenapa harus lembur? Nanti Abah capek." Zaraa mengalihkan pandangan dari buku kamus yang dia baca ke Attar. Menatap penuh khawatir.

"Bukankah sudah biasa? Abah lembur."

Tabir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang