"Mungkin dia bisa memaksaku untuk menjauh darimu. Tetapi, dia tidak akan bisa memaksaku berhenti mencintaimu, apalagi untuk mengalihkan cintaku untuknya. Mustahil!"
-Abid El Adnan
———————
Saat mentari mulai bersinar lebih terik dari hari kemarin. Abid sudah rapi dengan seragam lengkap yang terbalut hodie warna navy. Semangatnya bertambah kala mengingat kebersamaan tadi malam bersama Zaraa. Dia mengecek bensin motornya di halaman, ternyata masih penuh. Tadi pagi Jenny sudah mengisinya, saat keluar rumah untuk mencari bahan makanan di indomaret terdekat. Walaupun berasal dari golongan orang kaya, Abid dan Jenny lebih suka mengendarai motor. Satu mobil yang mengisi bagasi hanya digunakan Daniel bekerja.
Motor yang disukai Abid untuk pertama kalinya, bukan motor sport yang biasa dikendarai oleh remaja seusianya. Yang suka bergaya untuk menarik perhatian kaum hawa. Karena Abid tetap terlihat menawan meskipun hanya dengan motor scoopy hitam yang selalu dirawatnya dengan baik.
Setelah mengambil duduk di jok motor, kedua tangan Abid meraih helm yang terpasang di spion kanan untuk dipakai. Namun, suara teriakan cewek yang tidak terasa asing di telinga menghentikan gerakan tangannya yang hendak memakai helm di kepala.
"Abid!" panggil Lidya dengan nada cukup keras. Gadis itu berdiri di depan gerbang rumah Abid. Kedua mata Abid terbuka lebar, melihat Lidya yang sudah rapi dengan seragam yang sama dengan yang dia kenakan. Dengan memakai jilbab persegi yang dilipat menjadi segitiga, gadis itu menyampirkan kedua ujung jilbab pada kedua bahunya seraya tersenyum ke arah Abid.
Melihat Lidya yang tetap terdiam di tempatnya, Abid memilih abai dan kembali memakai helm yang sudah terpegang pada kedua telapak tangan. Setelah menyalakan mesin motor, dia langsung melajukan motor hitam itu ke arah Lidya. Sebenarnya dia malas menghampiri gadis yang tetap bergeming di sana. Namun, tidak ada pilihan jalan lain yang bisa dia lewati untuk menghindar dari Lidya.
"Stop!" Lidya merentangkan kedua tangan seperti polisi yang memberi tilang. Gadis itu berdiri tepat di depan Abid yang terpaksa menekan rem. Jika tidak, di akan terkena masalah karena melukai seorang gadis dengan sengaja. Apalagi sampai harus berurusan dengan meja hijau, jika lukanya cukup parah.
"Kenapa lo disini?" tanya Abid santai, menyembunyikan rasa tidak suka.
"Gue mau berangkat sekolah bareng lo."
"Lo bisa berangkat sendiri, kan?" Abid menyapu pandang ke arah depan, untuk mencari keberadaan motor Lidya. Barangkali, kendaraan gadis itu ada di luar gerbang. "Dimana motor lo?"
"Sudah gue bilang, kalau gue hanya akan berangkat bareng lo, tadi Mama yang nganter gue kesini," terang Lidya santai seakan mereka sudah saling mengenal sejak lama.
"Kenapa Mama lo melakukan itu? Dia pikir gue ini siapanya dia, hah?" tanya Abid kesal. Lantas membuang muka dari tatapan Lidya. "Harusnya Mama lo nganter lo ke sekolah, bukan ke sini."
"Denger, ya! Mulai saat ini lo harus terbiasa sama gue. Atau lo mau, Mama Aisha kecewa karena menolak permintaanya." Lidya tersenyum penuh kemenangan. Melihat Abid yang kembali menatapnya, bermaksud meminta penjelasan.
"Mama Aisha dan Mama gue yang meminta kita untuk sering bersama. Dimulai dari ini," lanjut Lidya, membuat Abid terdiam untuk berpikir keras. Apa maksud dari kata bersama di sini.
Mengamati Lidya yang sepertinya tidak akan memberi jawaban atas pertanyaannya, Abid menghela napas panjang. Mencoba meredam rasa tidak suka karena harus melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan. Karena jika itu tentang Aisha, Abid selalu berusaha mengambil sikap dengan hati-hati. Sejak kecil, Abid selalu patuh dengan perintah kedua orang tuanya, walaupun dia sering nakal jika berurusan dengan orang lain. Hal itu tidak pernah membuat Aisha dan Daniel kecewa atau marah. Mereka tetap menyayangi Abid tanpa memandang sifat yang ada padanya. Selama yang putranya lakukan bukan tindak kriminal dan termasuk hal wajar.
![](https://img.wattpad.com/cover/215779758-288-k507219.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir [END]
Teen FictionSebuah prinsip yang sudah mendarah daging pada diri Zaraa Keyra, membuatnya berpikir bahwa dia akan terhindar dari hitam dan putihnya jatuh cinta. Semula, di usia remaja dia hanya ingin fokus mengejar cita-cita dan menebar kebaikan. Namun, ternyata...