17. Akhir Sebuah Kecewa

47 1 0
                                    

Seseorang yang terbiasa menjadi pemaaf pun. Akan tetap membutuhkan waktu untuk memaafkan. Jika bukan sekarang, mungkin nanti.

-Zaraa Keyra

------

"Zaraa... tunggu aku!" Panggilan yang cukup keras itu belum sukses menghentikan langkah Zaraa untuk segera meninggalkan kelas dan pulang ke rumah. Sejak mengembalikan buku di perpustakaan setelah pulang sekolah, Abid terus mengikutinya. Padahal ia membutuhkan waktu untuk sendiri. Bahkan tadi harus meminta Leha dan Rara pulang terlebih dahulu. Tetapi pria itu tidak mengerti juga.

"Zaraa... aku mohon, dengerin aku dulu!" pinta Abid yang terus berusaha menyejajarkan langkah di samping Zaraa. Gadis itu tetap saja diam, tidak peduli dengan orang yang sejak tadi mengejarnya. Kecewa. Satu kata yang membuat Zaraa harus menghindar dari Abid untuk sementara. Dengan pandangan lurus ke depan dan sisa rasa sesak di dada, jika bisa, ia berharap segera menghilang dari hadapan Abid sekarang juga.

"Zaraa... sebentar saja, kita selesaikan masalah ini sekarang. Aku nggak sanggup jika kamu terus saja diam seperti ini," ucap Abid yang kini berhasil meraih lengan tangan Zaraa. Tetapi gadis itu segera menepis sentuhan di lengannya dan membuat rasa kecewa semakin meningkat.

"Jangan berani menyentuh tanganku, Abid!" Zaraa memutar tubuhnya yang membuat mereka berhadapan. Rasa kesal tidak membuat wajah asli kuning langsat Zaraa yang selalu cerah berubah memerah. Tatapan tanpa ekspresi dan suara datar penuh kekecewaan membuat hati Abid seakan teriris.

"Maaf! aku lupa. Maafkan aku Zaraa, ikut aku ya! setelah ini terserah kamu jika ingin menjauh dari aku."

Deg.

Sakit. Setetes air mata berhasil lolos dari mata yang terlihat indah dengan bulu mata lentik sempurna. Zaraa berusaha menghentikan tangisnya yang semakin menjadi. Kenapa Zaraa menjadi lemah sekarang. Perasaannya mendadak gelisah mencerna kata-kata itu. Apakah Abid ingin Zaraa menjauh dan mereka tidak bisa bersama lagi.

Bukan ini yang Zaraa inginkan. Menjauh dari Abid bukan harapannya. Dia hanya manusia yang bisa kecewa dan saat ini hanya membutuhkan waktu untuk menenangkan diri bersama Tuhan. Meminta supaya Abid tidak melakukan kesalahan yang sama dan membuatnya kecewa lagi.

"Jangan menangis, Zaraa. Baiklah kalau kamu nggak mau ikut. Aku nggak apa-apa, tapi tolong jangan menangis lagi!" pasrah Abid. Dia lebih baik terluka karena tidak bisa menghabiskan waktu terakhir bersama Zaraa daripada membuatnya menangis. Setidaknya di lain hari dia berharap bisa melihat senyum Zaraa walaupun dari kejauhan.

"Aku pergi dulu, jaga diri kamu baik-baik, Zar." Satu langkah ke belakang terpaksa terhenti oleh suara yang terdengar lirih.

"Kita mau kemana?" tanya Zaraa dengan suara khasnya. Seperti alunan melodi yang lembut dan tenang, selalu berhasil membuat Abid jatuh cinta.

"Ke suatu tempat. Kamu mau?"

Anggukan itu membuat Abid sedikit lega dan cukup bahagia. Suasana yang beberapa jam lagi akan terganti oleh kenyataan pahit yang selalu berusaha jadi masalah dalam kedekatan mereka.

"Baiklah, ambil motor kita dulu!" ajak Abid.

"Kamu duluan aja! aku mau angkat telepon Abah," perintah Zaraa saat mengecek layar handphone yang bergetar di saku roknya.

"Aku tunggu!" ujar Abid sambil mengambil duduk di kursi putih panjang yang ada di dekatnya.

"Assalamu'alaikum Abah."

"Wa'alaikumussalam. Zaraa, nanti Abah pulang malam sekitar pukul tujuh. Ada banyak pesanan di toko. Kamu cari makan di luar, ya!"

"Iya."

Tabir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang