20. Bimbang

45 2 0
                                    

Untuk sebuah rindu yang terpendam. Tidak akan mampu kusampaikan. Maaf ... aku memilih bungkam.

-Abid El Adnan

-------

Seorang gadis dengan balutan hijab pashmina berwarna crepe di kepalanya dan gamis grey bermotif bunga melati yang menyebar ke seluruh sisi, tengah berkutat dengan dua lembar kertas putih bergaris yang sudah terhiasi oleh tulisan arab dengan goresan tinta hitam.

Duduk nyaman di meja belajar sambil sesekali menatap ke sembarang arah, begitulah Zaraa memahami dan merenungkan isi teks pidato yang akan dia gunakan untuk lomba.

Selama ini dia tidak pernah ikut lomba yang berhubungan dengan tampil di depan umum. Menurut Zaraa, rasa malu bagi perempuan adalah suatu kehormatan yang harus dimiliki untuk menjaga kemuliaan wanta. Tetapi mendengar ucapan Rio tempo hari. Dia menjadi percaya bahwa tidak boleh ada kata malu dan kurang percaya diri saat berbuat kebaikan atau sesuatu yang benar. Zaraa memang masih amatir dalam mempraktikkan semua itu.

"Zaraa?" Panggilan yang terdengar dari seseorang di balik pintu kamar membuat Zaraa menghentikan belajarnya.

"Iya, Abah," sahut Zaraa begitu mengenal pemiliki suara itu.

"Abah masuk, ya?" Attar membuka pintu tanpa menunggu jawaban putrinya. Dengan sebuah paper bag di tangannya, dia duduk di tepi ranjang kamar Zaraa. Menatap putri semata wayangnya yang selalu rajin belajar membuat dia merasa bangga dan banyak bersyukur.

"Abah tidak perlu meminta izin kalau mau masuk kamar Zaraa. Sudah sering Zaraa katakan, kan?" tanya Zaraa lembut sambil mengambil duduk di samping Attar. Jika beberapa anak zaman sekarang selalu terganggu saat kamar yang menjadi privasi dimasuki sesuka hati oleh keluarganya sekalipun. Zaraa selalu berbagi apapun dengan Attar, karena abahnya adalah bagian dari dirinya. Apapun yang menjadi milik Zaraa adalah milik abahnya dan sebaliknya, tanpa ada privasi atau batas.

"Ini apa, Bah?" tanya Zaraa sambil mengangkat sebuah paper bag hitam yang tergeletak di atas ranjang.

"Lihat aja sendiri."

Zaraa mengintip isi paper bag dari atas, sepasang mata itu langsung berbinar ketika melihat sebuah benda persegi panjang dengan ketebalan sekitar tiga sentimeter yang selalu menjadi kesukaannya.

Masih dengan senyum mengembang yang membuat Attar tertular, Zaraa mengeluarkan buku yang membuat dia penasaran dengan judulnya. Pasalnya, tadi dia hanya mengintip. Tidak mungkin tahu judul buku itu jika tidak mengeluarkannya.

"Kumpulan Pidato Tiga Bahasa? ini untuk Zaraa, Bah?" tanya Zaraa penuh harap, kedua ujung bibir itu terangkat saat mendapati anggukan dari abahnya.

"Syukron Katsir, Abah." Zaraa berhambur ke pelukan abahnya. Attar terkekeh pelan lalu membalas pelukan putrinya dengan penuh kasih sayang.

"Semangat lombanya, Sayang," bisik Attar, Zaraa mengeratkan pelukannya saat merasa mendapatkan daya semangat lagi dari pria pertama yang dia cintai.

Setelah cukup menyalurkan kehangatan dan ketenangan. Attar melepas pelukannya. "Siapa yang akan melatih kamu?"

"Kak Rio, Bah. Dia pernah menjadi juara pidato. Bahasa Indonesia, sih. Bukan Bahasa Arab seperti Zaraa." Zaraa meraih buku pemberian abahnya lalu membolak-balikkan isinya. "Tapi Zaraa yakin, dia bisa membantu Zaraa supaya menampilkan yang terbaik."

"Rio itu ... yang meminta diajari kamu tugas sekolah itu, ya?" tanya Attar masih mengingat-ingat sosok pria tampan yang sempat menarik perhatiannya.

Tabir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang