27. Kejujuran dan Sosok Lain

40 1 0
                                    

"Andai kamu tahu dan tidak memilih pergi. Cintaku sama besar dan tulus denganmu. Walaupun dia, juga mencintaiku."

-Zaraa Keyra

--------

Tidak ada rasa yang menyeruak dalam suasana hati Zaraa selain haru. Masih terlihat seperti mimpi, malam purnama nanti menjadi saksi perjuangan untuk mewujudkan sekeping harapan. Banyak guru yang men-support-nya dengan memberi doa, memberi semangat, dan memberi sejumlah uang di balik amplop putih untuk uang saku selama beberapa hari di kota orang. Zaraa menerima semua itu dengan santun dan tak henti-hentinya memanjatkan syukur.

Langit sudah mulai gelap, suara azan yang terlantun beberapa menit yang lalu telah berakhir. Zaraa melipat mukena dengan rapi setelah memanjatkan doa yang biasa dia haturkan selepas salat. Lalu beranjak keluar masjid untuk menemui Leha dan Rara yang menunggu di serambi. Keduanya sedang berhalangan untuk menunaikan salat.

"Langsung ke halaman sekolah?" tanya Zaraa yang berdiri di belakang dua perempuan yang baru saja menoleh.

"Iya, udah mau mulai kayaknya," jawab Leha sambil merapikan jilbab di kaca spion motor milik jamaah yang terparkir di halaman masjid.

"Ya udah. Buruan, Le. Lo dari tadi ngaca nggak selesai-selesai. Gue udah nggak sabar dengar pengumuman." Rara yang mulai kesal langsung menarik pergelangan tangan Leha.

Akhirnya, mereka berjalan menuju halaman sekolah yang tengah ramai. Banyak pasang mata yang menatap ke panggung dengan perasaan berdebar. Seorang MC tengah berdiri di sana, memberi sapaan hangat dalam suasana penuh ketegangan ini sambil membawa sebilah papan yang di atasnya terdapat selembar kertas berisi pengumuman kejuaraan.

"Tadi aja ogah-ogahan dukung mak lampir, sekarang semangat banget," sindir Leha, menatap Rara yang tengah heboh menyoraki nama sekolahnya.

"Eh? Siapa yang dukung mak lampir. Gue itu dukung kak Rio," ujar Rara penuh semangat.

Leha mencebikkan bibir. "Pindah haluan, nih, ceritanya? Bukan Iqbal lagi."

Zaraa yang sejak tadi diam menatap MC menoleh dengan malas dan berkata lirih, "Iqbal sepupu Rara, Le."

"Iya, nih. Mendingan sama kak Rio. Udah ganteng, pinter, berwibawa banget jadi ketua," sahut Rara tanpa pikir panjang.

"Lo lupa? Kak Rio itu sukanya sama siapa?" tanya Leha menatap Rara serius.

Rara tampak berpikir sebentar. Setelah teringat, ia ingin segera membuka suara. Namun, suara lantang diiringi tepukan yang gemuruh sebagai akhir dari suasana ketegangan malam itu menghentikan niat Rara.

Di depan sana, MC telah membacakan pemenang dari perlombaan drama palang merah berdasarkan penilaian dari para juri. SMA Islam Al-Azhar berhasil meraih juara kedua.

Leha dan Rara bersorak heboh seperti yang lain, sedangkan Zaraa menyadari sesuatu yang menurutnya janggal. Kedua bola mata itu menyapu ke seluruh sisi yang dapat terpandang, tapi tidak berujung temu. "Le, Ra, lihat Lidya nggak?"

Refleks, keduanya menatap penuh selidik ke arah panggung. Sejak tadi, mereka membicarakan Lidya tanpa mendapati sosoknya. Benar, gadis itu tidak ada. Hanya Rio dan Abid yang berdiri di sana, menjadi wakil untuk menerima medali, piagam, dan sejumlah uang atas kemenangan regu mereka. Dua pasang mata itu beralih ke gerombolan siswa di kanan panggung, anggota PMR sekolahnya. Lantas, Leha dan Rara menggeleng sambil menatap Zaraa setelah tidak menemukan Lidya di sana.

"Dia biasanya nempel terus, loh, sama Abid," ucap Leha sambil berpikir.

"Bagus, deh, kalau nggak ada. Nggak perlu lihat orang caper dan alay di atas panggung kemenangan," sahut Rara semangat.

Tabir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang