35. Penyesalan dan Permintaan Maaf

37 0 0
                                    

Pelaku berinisial ‘W’ yang menjadi dalang di balik kebakaran toko buku Al Kautsar telah berhasil ditangkap. Menurut keterangan pelaku, aksi ini dilakukan untuk melenyapkan satu-satunya saksi atas dirinya yang telah menabrak seorang wanita paruh baya lima tahun yang lalu. Saksi tersebut merupakan pemilik toko buku Al Kautsar yang bernama Attar.

“W? Siapa dia, Jen?” Aisha yang bersandar pada kepala ranjang itu bertanya pada putrinya yang duduk di sebelahnya. Jenny terpaksa pulang dari Singapura untuk merawat Aisha yang kesehatannya menurun setelah kepergian Abid tanpa jejak.

“Tante Windy, Ma.”

Aisha langsung menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Gelengan tidak percaya tercipta bersama air mata yang perlahan turun membasahi pipi.

“Iya, Tante. Polisi sudah mengamankan dia. Om Attar juga udah diwawancara. Lidya pergi ke luar negeri untuk bertemu neneknya setelah kecewa dengan kejahatan mamanya,” ucap Dika yang tadi datang bersama Iqbal, Leha, dan Rara untuk memberitahu berita itu. “Saya akan cerita semuanya, Tante. Tapi jika Tante nggak percaya, bisa tanya sendiri ke polisi untuk meminta barang bukti.”

“Cerita aja, Dika.” Jenny mengangguk yakin.

“Dulu Tante memang pernah terluka parah, bukan karena Abid yang telah mengecewakan Tante. Melainkan karena wanita itu yang sudah menabrak Tante saat sedang terburu-buru kembali dari toko mainan di malam hari. Di gang yang sepi itu, Attar berada di sana saat mobil itu menghantam keras tubuh Tante. Sampai akhirnya tante koma selama dua minggu dan melupakan kejadian tentang itu.”

Tiba-tiba semua memori peristiwa yang diceritakan Dika terputar jelas dalam pandangannya. ”Iya, kamu benar.”

Jenny mendekap sang ibu yang sudah terisak penuh penyesalan.”Udah, Ma. Jangan menangis. Kita perbaiki semuanya, ya!”

“Attar itu siapa, Jen?”

“Ayah Zaraa.”

“Kita ke sana sekarang!”

•••

Di depan gerbang rumah yang tampak sepi, dua mobil mewah berhenti di sana. Angin sore yang berembus kencang, seiring dengan langkah mereka yang tergesa-gesa memasuki halaman rumah.

Setelah pintu diketuk, keluarlah seorang pria paruh baya dengan baju koko dan bersarung. Attar memang baru menunaikan ibadah wajibnya. Pria yang kini hanya mendapat pasokan uang dari gaji guru dan usaha buku kecil-kecilan itu mengamati dua orang asing yang bersama dengan empat teman Zaraa.

“Loh, Leha, Rara, Dika, sama Iqbal, mau cari Zaraa, ya?” tanya Attar yang  sudah mengenal mereka.

“Bukan, Om. Ada yang mau bertemu dengan Om.”

“Siapa?”

Aisha keluar dari mobil dan berjalan ke teras bersama Jenny dan Daniel yang kebetulan baru pulang dari kantor saat hendak menuju ke mari. Attar belum mengenal mereka.

“Attar, bisa bicara sebentar?” tanya Daniel.

“Boleh, mari! Di ruang tamu aja.”

Semua orang yang baru menempati kursi yang melingkar itu, masih terdiam. Hingga Aisha membuka suara dengan bola mata yang berkaca-kaca merasakan sesak dalam dada yang dipenuhi rasa bersalah. ”Saya mau meminta maaf sama Zaraa. Di mana dia?”

“Minta maaf? Untuk apa?” Attar menatap bingung.

“Saya yang telah membuat semua warga sekolah berpikiran buruk kepadanya. Saya yang udah mencaci maki dia. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.” Aisha menundukkan kepala, merasakan daya keberanian yang disalurkan sang suami melalui usapan di punggungnya.

Tabir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang