34. Tragedi Sebuah Fitnah

23 0 0
                                    

Benturan benda padat pada lantai ruangan yang jarang dimasuki orang terdengar memekakkan telinga. Kaca yang telah hancur meninggalkan serpihan-serpihan itu tampak berserakan. Semua terlihat berantakan seperti hati seorang gadis yang sedang kacau. Suhu tubuh yang mengandung emosi mendidih membuat atmosfer di sekitarnya terasa pengap. Tidak ada ketenangan apa pun. Satu jam berlalu, umpatan dan raungan sebagai luapan atas perasaannya saat ini belum juga berhenti. Pintu kayu yang terkunci dari dalam, tidak membiarkan pekerja rumah yang mendengar suara memilukan itu berkutik.

“Sialan!”

“Gue benci lo, Zaraa!”

“Abid bangsat!”

“Kurang ajar!”

Lidya menggeram kesal hingga sebuah cermin yang tergantung di dinding menjadi sasaran pukulannya. “Zaraa anj—awh, shh,” rintih Lidya sambil memandang darah yang keluar dari lipatan jari yang mengepal.

Dobrakan sebuah pintu yang menimbulkan bunyi nyaring mengambil alih perhatian Lidya. Saat melihat wanita paruh baya yang tampak menyayanginya, dia berlari dengan air mata yang terus luruh. Tidak peduli bagaimana kondisi telapak tangan yang banyak noda merah. Dalam dekapan  erat itu, sebuah ide melintas dalam pikiran.

“Lidya, kenapa kamu bisa begini. Harusnya kamu masih ada di sekolah, ‘kan?” Aisha merasa cemas.

“Mama Aisha,” panggil Lidya disertai isakan.

“Udah, udah, tenang dulu. Mama ada di sini. Kamu bisa cerita sama mama.” Aisha mengusap punggung Lidya dalam dekapan. Mengabaikan sang suami yang masih berdiri di belakangnya usai mengerahkan seluruh tenaga supaya pintu terbuka paksa.

Lidya mengurai pelukan masih dengan isakan kecil. ”Abid mutusin aku, Ma. Dia udah deket sama cewek lain. Kemarin saat UAS mereka duduk sebangku. Waktu di Medan, Abid juga menemani cewek itu. Tampangnya aja alim, padahal dia cewek penggoda, Ma. Dia berusaha membuat Abid supaya menentang perintah Mama. Dia lebih mengutamakan cewek itu dari pada Mama.”

Aisha mematung mendengar kalimat buruk tentang putranya. Padahal selama ini, anak itu selalu baik di matanya. Penurut dan berbakti kepada orang tua. Walaupun sedikit usil dan nakal saat di sekolah. Namun, Aisha merasa Abid sudah berubah jadi baik semenjak ada Lidya. ”Siapa cewek itu?”

“Zaraa, anak kelas 10 IPA 2.”

•••

Abid menghampiri Zaraa yang sedang duduk di bangku koridor kelasnya. Dua buah green tea yang masih dingin dalam cup berada dalam genggaman kedua tangannya.”Nih, buat kamu.”

“Makasih.” Zaraa tersenyum lebar dan menerima pemberian itu dengan senang hati. Karena sebagai manusia, tidak baik menolak sedekah orang lain.

Abid mengangguk, lalu melihat gadis di sebelahnya yang sedang meneliti nilai rapot yang baru saja dibagikan. “Gimana nilai kamu, pasti bagus. Dapat juara satu?”

“Kepo!” Zaraa menutup buku rapot yang semula terbuka di atas pangkuannnya, lalu beralih meneguk minuman melalui sedotan.

“Nggak perlu dijawab, aku udah tahu, kok,” kekeh Abid.

“Kurang kerjaan banget, sih? Nyari tahu privasi orang.” Zaraa memalingkan muka, melihat kedua sahabatnya yang sedang bergurau bersama Iqbal dan Dika di dalam kelasnya. Semenjak Zaraa dan Abid dekat, mereka memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Apalagi Rara dan Iqbal yang berstatus saudara sepupu.

“Nyari info tentang calon istri nggak apa-apa, ‘kan?” tanya Abid dengan nada menggoda. Tentu berhasil menciptakan rona merah di kedua pipi cerah Zaraa, yang tidak dapat dilihat oleh cowok itu.

Tabir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang