"Pada lembar dedaunan yang seharusnya terukir kisah penuh cinta. Mengapa dibiarkan jatuh dan mengering dalam kehampaan?"
-Zaraa Keyra
————————
Takdir kembali memberi kesempatan dua anak manusia untuk bersanding menyusuri jalan yang tidak datar. Di tepi jalan raya beraspal yang hitam pekat, barisan pohon palem raja tumbuh menjulang sama rata. Hanya memberi sedikit cela bagi sinar purnama menerangi penghuni bumi yang melintas di sana. Manik cahaya dari lampu jalan tenaga surya yang tertanam secara teratur sepanjang trotoar, menambah kehangatan yang terkandung dalam angin di dataran tinggi.
Zaraa sangat menikmati panorama di sekitarnya dalam diam. Tidak ada obrolan menyenangkan yang mungkin bisa menambah kehangatan saat bersama dengan seseorang di sampingnya. Seharusnya semua terasa sempurna, tapi dua hati yang belum menyatu masih bertahan dalam ruang hampa. Membiarkan keindahan dan kesempatan emas itu menguap sia-sia. Tidak ada pertukaran cerita yang mampu diabadikan dalam memori.
Semua masih hampa tanpa sepatah atau dua patah yang dapat menyemaikan rasa. Bahkan sampai Zaraa menginjakkan kaki di tempat tujuannya. "Kamu tunggu di sini aja!"
"Gue ikut lo," tegas Abid.
"Em ... baiklah."
Sepuluh menit berlalu, Zaraa keluar dari toko sambil menenteng paper bag yang berisi pena kaligrafi, kertas HVS, serta papan yang biasa digunakan pelajar untuk alas ujian.
Abid mengamati beberapa remaja berpakaian koko dengan bawahan sarung yang melintas di area itu. Tampak religius. Sangat menjunjung tinggi kesopanan dan menghiasi diri dengan akhlak seorang santri. Tiba-tiba ada sedikit rasa tidak percaya diri dalam mempertahankan cinta yang bersemayam di hati.
"Lo mau latihan nulis di mana?" tanya Abid sambil melirik gadis di sampingnya.
Zaraa berhenti di tepi jalan dengan pandangan menyapu ke berbagai penjuru. Hingga manik mata itu jatuh pada tempat makan lesehan di atas tanah lapang berselaput rerumputan. "Ke sana aja, beli minum sekalian," tunjuknya pada tempat menarik itu.
"Oke."
Jalan raya dekat pondok pesantren yang menjadi pijakan langkah mereka begitu ramai. Banyak tempat makan mulai dari warung hingga restoran menyajikan berbagai jenis hidangan yang dapat memenuhi selera pengunjung sudut kota itu.
"Di pojok sana aja, ya! Masih sepi." Zaraa menunjuk sebuah bangku pendek yang beralas karpet hijau. Atap alami berupa ranting pohon yang bercabang banyak dengan daun hijau yang rimbun sangat memanjakan mata, berpadu dengan pancaran sinar orange dari deretan bohlam kecil yang menggantung di antara dahan satu dengan yang lain.
"Lo tunggu di sana! Biar gue yang pesan. Lo mau apa?" tanya Abid sambil memandang papan menu yang berada di dekat pintu masuk.
"Es teh aja."
"Jangan minum es dulu, nggak baik. Lo itu mau lomba pidato. Lupa?" Abid mulai beranjak menuju tempat pemesanan."Air putih aja,ya!"
"Iya," jawab Zaraa pelan. Namun, masih terdengar oleh Abid yang beberapa langkah di depannya. Ada perasaan nyaman yang kembali merekah saat menyadari perhatian Abid padanya beberapa detik yang lalu. Dia memang lupa bahwa minuman dingin tidak baik untuk seseorang yang akan berkompetisi dengan suara.
Setelah selesai melakukan pembayaran atas hidangan yang dipesan olehnya, Abid menghampiri Zaraa yang sedang mengeluarkan peralatan tulis dari paper bag hijau. Dia duduk bersila di hadapan Zaraa, terhalang oleh bangku bercat cokelat tua yang mengkilap. Ditatapnya gadis itu mulai serius menggoreskan tinta dengan pena kaligrafi yang masih baru. "Zar, lo udah ngabarin abah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir [END]
Teen FictionSebuah prinsip yang sudah mendarah daging pada diri Zaraa Keyra, membuatnya berpikir bahwa dia akan terhindar dari hitam dan putihnya jatuh cinta. Semula, di usia remaja dia hanya ingin fokus mengejar cita-cita dan menebar kebaikan. Namun, ternyata...