13. Konferensi

52 4 0
                                        

"Karena menjaga perasaan orang yang kita cintai itu perlu."

-Abid El Adnan

---------

"Itu di belakang mobil, tembak, Dik!" heboh Iqbal.

"Duor! sip menang, euy." sorak Dika

"Belum, Dik. Itu banyak yang datang lagi."

"Wah, ini musuh main keroyok aja, oke kita tempur bersama sekarang."

"Siap, Dika. Tembak terus jangan kasih jeda!" heboh Iqbal yang sekarang sedang mabar bersama Dika sambil menunggu jam pelajaran dimulai.

"Masih pagi sudah berisik lo berdua,"
tegur Abid yang baru saja datang.

"Kita itu memanfaatkan waktu untuk hal yang berfaedah, Bid. Daripada bengong memikirkan doi, benar nggak, Bal?"

"Benar dong, Dika."

"Faedah itu baca buku, mengaji, atau bersih-bersih kelas, itu lantai masih kotor, lo bantu yang piket sana, gih!"

"Itu mah, kebiasaan Zaraa, Bid."

Mendengar nama itu, membuat Abid kembali teringat di masa ketika setiap pagi dia berkunjung ke kelas Zaraa sebelum masuk kelas. Membantu Zaraa piket, mengaji bersama Zaraa, dan menemani Zaraa belajar ketika akan ulangan. Tetapi sekarang kebiasaan itu hanya sekedar angan karena Lidya tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Eh, ngelamun lo, Bid? lo pasti rindu Zaraa, kan?"

Belum sampai Abid menjawab, bel masuk jam pertama berbunyi. Dika dan Iqbal yang sudah memenangkan game memasukkan iphone-nya ke dalam saku celana.

Setelah melaksanakan ritual pagi yaitu membaca Al-Qur'an dan berdo'a, seorang guru mengucapkan salam yang langsung dijawab serempak oleh semua siswa dan siswi.

"Keluarkan selembar kertas!" perintah Bu Maya selaku guru biologi di kelas sepuluh. Tentu kalimat itu adalah kalimat horor bagi mereka yang jarang belajar karena malas, atau mereka yang belajar dengan sistem kebut semalam ketika telah diberi tahu bahwa besok ada ulangan, atau mereka yang mempunyai kebiasaan membuat contekan di kertas sebelum ulangan dimulai.

Ulangan dadakan, itu maksud dari perkataan Bu Maya tadi. Siap tidak siap harus dihadapi. Dika dan Iqbal yang belum membuat contekan seperti biasa terlihat panik. Tidak hanya mereka, mayoritas anak kelas IPA 5 sibuk melirik kesana kemari untuk membuat perjanjian contekan. Tetapi tidak dengan Abid yang masih berdamai dengan ketenangan, bahkan anak itu sudah memberi nama dan nomor absen pada kertas lembarannya. Dika yang duduk disamping Abid bertopang dagu dan terus memperhatikannya dengan heran.

"Bid, lo sudah tahu ya? kalau hari ini ada ulangan biologi," tanya Dika.

"Nggak, lagipula tau darimana gue?"

"Atau lo sudah buat contekan dari kemarin-kemarin?"

"Gue sudah pensiun dari kebiasaan itu, Dika."

"Waduh, lo belajar semalam?"

"Kalau itu baru betul."

"Ini pasti disuruh Zaraa, ya? Tidak mungkin seorang Abid ada inisiatif belajar tanpa alasan."

"Suudzon aja terus," gerutu Abid.

"Gue nanya doang, Bid. Jangan marah, ya! ampun deh, nanti kasih tahu jawabannya, ya!" rengek Dika.

"Iya udah jangan berisik!"

Bu Maya mulai membagikan soal yang sudah tertulis dalam selembar kertas. Abid memperhatikan tulisan yang ada di hadapannya. Menyimak satu demi satu soal di sana. Setelah selesai, kedua ujung bibir Abid terangkat. Senyuman itu menandakan bahwa tidak ada kesulitan bagi Abid untuk mengerjakan semua soal ulangan itu.

Tabir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang