Dua wanita yang sangat berarti. Tetapi ketika salah satu dalam dekapan, kenapa yang lain terpaksa pergi meninggalkan.
-Abid El Adnan
----
Sebuah motor scoopy hitam memasuki halaman rumah besar bernuansa putih bersama seseorang yang mengendarainya. Dia menghentikan laju motor itu tatkala sepasang matanya menatap tajam ke sebuah mobil alphard berwarna putih yang terparkir di halaman rumahnya. "Mobil siapa?" gumamnya.
Mengerti bahwa tidak mungkin ada jawaban jika tetap terpaku di sana, dia mempercepat langkah memasuki pintu rumah yang sudah terbuka lebar.
Pandangannya menyebar ke ruangan luas yang menjadi ruang utama di rumah itu-ruang tamu-, tidak ada siapapun di sana. Begitu teringat tentang perkataan perempuan yang tadi meneleponnya, dia bergegas menuju ruang makan.
Ternyata benar, akan ada makan bersama di sana. Ada beberapa makanan yang sudah berada di atas meja yang cukup luas itu. Beberapa orang masih mempersiapkan hidangan lainnya.
Pandangan dia berhenti pada sosok wanita berhijab maroon yang duduk manis di salah satu kursi meja makan sambil berkutik dengan layar handphone-nya.
"Mama!" panggilnya lirih tetapi bisa terdengar oleh semua orang di sana termasuk orang yang dia panggil. Wanita cantik itu menoleh ke arah sumber suara.
"Abid, sayang!" sapa wanita yang memang memiliki beberapa kemiripan dengan anaknya itu.
Wanita itu adalah Aisha, orang yang sangat Abid sayangi dan hormati. Bahkan anak itu hampir tidak pernah membantah kemauan mamanya.
Dengan kedua mata yang berbinar-binar, Abid berjalan dengan cekatan untuk memeluk mamanya. Aisha membalas pelukan itu, menyalurkan kehangatan yang sangat Abid rindukan. Selama ini mereka hanya berkomunikasi dengan video call, itupun tidak sering. Karena Abid tahu Aisha pasti sibuk.
"Kamu sudah pulang, dari mana saja?" bisik Aisha masih dalam pelukan.
Abid melepaskan pelukan itu setelah dirasa cukup meredakan rasa rindu selama ini. "Dari rumah teman. Aku minta diajari olehnya, dia sangat pandai, Ma."
"Perempuan?" tanya Aisha.
"Iya, Ma."
"Berdua saja? kamu ini bagaimana sih, sayang. Tidakkah kamu memikirkan perasaan Lidya setelah tahu kamu berduaan dengan perempuan lain?"
Deg!
Abid menatap mamanya bingung, sangat bingung. Bagaimana Aisha bisa berasumsi seperti itu, seakan Abid adalah milik Lidya dan tidak boleh ada perempuan lain di antara mereka. Tetapi itu salah, bahkan sebenarnya Lidya yang menjadi orang ketiga dalam kisah cinta Abid dan Zaraa.
Abid tentu tidak sanggup memberitahu bahwa dia mencintai Zaraa, bukan Lidya yang selalu Aisha banggakan. Karena dia tidak ingin membuat mamanya kecewa. Dan pernyataan Aisha barusan telah menjawab semuanya bahwa Abid memang harus diam.
"Aku hanya belajar bersamanya, Ma."
"Bohong, Ma. Dia pasti mo ...," celetuk Lidya yang segera dihentikan oleh Abid.
"Maaf, Ma. Aku janji tidak akan melakukan kesalahan itu lagi. Jika mama tidak suka." Abid meraih kedua tangan mamanya dan mengusapnya pelan, kemudian dia cium punggung tangan yang lembut nan harum itu.
Menyadari hidangan makan bersama yang telah siap di atas meja, Aisha kembali tersenyum dan mengacak rambut anak bungsunya. "Ya udah, jangan diulang! kamu harus menjaga perasaan Lidya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir [END]
Teen FictionSebuah prinsip yang sudah mendarah daging pada diri Zaraa Keyra, membuatnya berpikir bahwa dia akan terhindar dari hitam dan putihnya jatuh cinta. Semula, di usia remaja dia hanya ingin fokus mengejar cita-cita dan menebar kebaikan. Namun, ternyata...