29. Di Atap yang Sama

28 0 0
                                    

"Melukaimu itu, sama seperti melukai diriku sendiri. Walaupun tanpa sengaja, aku benar-benar menyesal."
-Zaraa Keyra

-------

Pagar besi sebagai pembatas halaman rumah dengan jalan raya yang terbuka, melancarkan laju sebuah motor yang ditumpangi dua remaja dalam keheningan. Abid yang masih dalam mode kesal, terus memilih diam. Dengan pelan, dia menekan rem kanan dengan cengkeramannya. Masih enggan bertanya, padahal cowok dengan rambut sedikit basah karena keringat itu bingung memutuskan tempat yang pas untuk menaruh motornya.

"Masukkan motornya ke bagasi!" Zaraa yang menangkap kebingungan dalam benak Abid, memberi instruksi.

Gadis itu dapat turun dengan mudah dari motor yang serupa dengan miliknya. Tanpa mengerti dengan niat yang tiba-tiba terbentuk, Zaraa menyentuh koper Abid yang terletak di bagian motor yang biasanya menjadi pijakan pengemudi.

"Mau apa?" Abid mengurungkan niatnya yang hendak memutar gas pada motor.

Zaraa menghentikan gerakannya, lalu kembali berdiri tegak. "Mau bawain koper kamu."

"Nggak perlu, lo tutup gerbang aja!" sanggah Abid sambil melajukan motor menuju bagasi, tanpa mau menangkap respon Zaraa.

Meneruskan langkah mendekati gerbang depan, Zaraa kembali merasakan sesak menerima sikap dingin dan ketus dari cowok yang sampai saat ini masih tercatat sebagai orang spesial di hati setelah abahnya. Penyesalan atas setiap perkataan yang menyebabkan pertengkaran panas di rooftop kemarin begitu besar, walaupun dia tidak sepenuhnya bersalah.

Sekarang bagaimana Zaraa akan menjalani lombanya yang tinggal beberapa langkah lagi tanpa semangat. Tertikam dengan perasaan bersalah, mematikan senyum manisnya. Rio masih berbaring di ranjang rumah sakit dengan tubuh penuh luka lebam dan tubuh yang terasa remuk. Attar pun harus berusaha ikhlas karena kehilangan usaha yang begitu berharga, walaupun ada kesedihan yang mampu disamarkan dari pandangan putrinya. Sedangkan orang yang seharusnya menjadi salah satu sumber kekuatannya, masih teramat terluka karenanya. Dalamnya luka itu sungguh membuat hati Zaraa teriris, ditambah dengan sikap Abid yang berubah menjadi emosional.

Zaraa segera melepas pegangan kedua tangannya pada jeruji pagar setelah tersadar bahwa dia harus segera mengunci pintu gerbang. Tanpa membiarkan waktu berjalan sia-sia, dia berbalik untuk masuk ke dalam rumah. Semakin dekat dengan undak-undakan teras, dia dapat melihat penat pada wajah Abid yang berkulit cerah. Masih terlihat beberapa luka lebam. Kedua mata dengan kelopak yang sedikit menghitam itu terpejam. Zaraa tidak tahu apakah cowok itu benar-benar sudah tenang dalam tidurnya atau sekedar menghitamkan pandangan.

Tidak tega membiarkan Abid tidur dengan keadaan duduk di kursi teras, dia mencoba membangunkannya. "Abid, kamu udah tidur?"

Mendengar suara lembut yang dapat ditangkap organ telinganya, Abid membuka mata. "Mau tidur sebentar. Lo ngapain masih di sini? Buruan masuk, di luar dingin."

Tanpa sengaja, Abid masih menunjukkan kepeduliannya pada Zaraa. Gadis itu menyunggingkan sedikit senyum saat menyadari hal tersebut. Lalu bagaimana dia bisa membiarkan cowok itu tetap di luar, sedangkan mereka sama-sama tahu bahwa suhu dini hari sekarang terasa lebih dingin.

"Jangan tidur di sini, ayo ikut aku masuk!" ajak Zaraa sambil membuka kunci pada pintu utama.

Mata yang semula tertutup itu mendadak terbuka. Abid terkejut mendengar izin yang terlontar Zaraa, padahal dia berasumsi bahwa tidak mungkin gadis itu membiarkan orang yang bukan muhrim berada dalam satu rumah yang sama dengannya, apalagi untuk tidur. Walaupun beda ruangan, bukankah harus tetap waspada.

Tabir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang