"Hinaan dia hanyalah angin lalu yang tidak ada benarnya sama sekali. Tetapi amarah yang membuatmu merendahkan wanita akan tetap membekas dalam ingatan, sekarang ataupun nanti."
-Zaraa Keyra
----
Lidya turun dari mobil Kak Jenny di depan pintu gerbang sekolah, sesuai dengan saran Abid untuk Aisha tadi pagi. Dia berjalan dengan tatapan tajam yang terpancar dari kedua bola matanya. Api kebencian mungkin sudah membakar hatinya. Tidak ada belas kasihan untuk siapapun yang menghalangi jalannya. Ada amarah yang kian menggebu membuat kepalan tangannya semakin erat.
Lidya meniti jalan menuju kelas Abid, untuk memastikan bahwa dugaannya benar bahwa Abid tidak ada di sana. Lima belas menit lagi bel masuk mengeluarkan suara nyaring, sudah banyak anak yang datang di kelas Abid. Pandangan Lidya menyebar ke seluruh penjuru ruangan itu. Dia tersenyum sinis, jadi Abid benar tidak ada. Bahkan batang hidung Dika dan Iqbal tidak dia temukan di sana.
Langkah selanjutnya, kembali menelusuri koridor sekolah. Hingga di sinilah Lidya berada. Ruang kelas IPA 2, senyum licik itu semakin melebar. Dia sendiri? satu hal yang baru Lidya sadari. Hari ini jadwal kelas Zaraa untuk shalat Dzuha berjamaah di Masjid, kecuali bagi mereka yang datang bulan.
Di hadapan Lidya sekarang, hanya ada Zaraa dan cewek cupu dengan name tag Inaya yang melekat di jilbab seragamnya. Dia juga membaca buku di pojok belakang, seperti yang dilakukan Zaraa di meja depan.
Brak!
Sebuah tendangan keras berhasil melesat. Bukan pada bola sepak ataupun bola futsal. Melainkan pintu yang tidak punya kesalahan sedikitpun.
Suara yang cukup keras membuat Zaraa dan Inaya mengalihkan pandangan seketika dari buku yang mereka baca ke sumber suara.
"Woi! cewek munafik!" teriak Lidya sambil melangkah pelan ke tempat Zaraa.
"Assalamu'alaikum, Lidya!" balas Zaraa dengan sedikit mengembangkan senyuman.
"Nggak usah sok suci! najis!" bentak Lidya membuat Inaya berhenti berkutik.
Tanpa mereka sadari, ada seorang gadis tersenyum sinis di balik jendela yang sedikit tertutup tirai. Rara, dia tidak jadi ikut shalat Dzuha setelah mendapati sesuatu saat ritual di toilet. Bagi kaum hawa pasti tahu, iyakan?
Pandangan Rara tidak lepas dari Lidya yang berisik dengan segala kebacotan-nya. Zaraa hanya diam dan menahan segala amarahnya, dia tahu bagaimana cara menghadapi api. Dengan menjadi air, kalaupun tidak mampu memadamkan api yang menjalar di tubuh Lidya. Setidaknya bisa meneduhkan hati Zaraa dari segala bentuk emosi yang tidak berguna baginya.
•••
Terkaan Lidya memang benar bahwa Abid meninggalkan dia pagi ini untuk menemui Zaraa di kelasnya. Tapi itu tadi, bukan setelah Lidya datang. Sekarang Abid memakan bekal yang dia bawa dari rumah, bersama Iqbal dan Dika yang menyantap nasi goreng di kantin.
"Lo tumben datang pagi! dari kelas Zaraa?" Iqbal bersuara.
"Hem," jawab Abid singkat masih menikmati sarapannya.
"Jadi gimana, lo jadi menerima tugas PMR itu?" tanya Dika di sela makannya.
"Dipaksa."
"Siapa yang maksa?" Dika mengangkat satu alisnya.
"Mama, gara-gara mak lampir itu," celetuk Abid membuat tawa Iqbal dan Dika pecah. Sebutan baru untuk Lidya sangat pantas.
"Tapi gue masih bingung, dan nanti harus sudah konfirmasi ke Kak Rio," tambah Abid dengan malas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir [END]
Ficção AdolescenteSebuah prinsip yang sudah mendarah daging pada diri Zaraa Keyra, membuatnya berpikir bahwa dia akan terhindar dari hitam dan putihnya jatuh cinta. Semula, di usia remaja dia hanya ingin fokus mengejar cita-cita dan menebar kebaikan. Namun, ternyata...