9. Sebuah Ungkapan

54 3 0
                                    

Seorang gadis berjilbab pink menghentikan motornya di halaman rumah Zaraa, kebetulan pintu gerbangnya terbuka, karena jalan raya malam itu masih ramai. Sorot lampu masih menyempurnakan sinar bulan yang menerangi langit yang semula pekat. Dia berdiri di depan sepasang pintu kaca yang tertutup, dengan gorden yang terbuka.

"Assalamu'alaikum ...."

Zaraa yang semula melihat tayangan penyair arab di youtube , segera keluar dari kamar menuju pintu karena dia mendengar salam yang diucapkan cukup keras tadi.

"Wa'alaikumsalam, Leha. Ayo masuk! Kamu datangnya kok tiba-tiba, sendirian?"

"Iya, gue khawatir sama lo, Zar."

"Kenapa khawatir? Aku baik-baik saja, Le."

"Nggak, lo jangan menyembunyikan sesuatu dari gue,  Zaraa."

"Em ... kita ke kamar atau ke taman belakang?" Zaraa mengalihkan pembicaraan karena dia ingin sejenak melupakan tentang perubahan sikap Abid yang sama sekali tidak bisa dimengerti. Namun, semakin mengabaikan, semakin membuat perasaannya tidak menentu. Zaraa sangat terganggu akan hal itu.

"Di taman belakang, deh." Leha terpaksa menahan dulu untuk membahas sesuatu yang menganggu sahabatnya.

"Kamu ke sana dulu, ya. Aku mau ambil minum."

Leha mengangguk sambil berjalan ke  taman belakang rumah Zaraa. Gadis yang mengenakan jilbab segitiga bermotif itu sudah sering ke taman itu. Sudah dipastikan jika pemilik rumah sangat baik dalam merawat tanaman. Buktinya, pemandangan di depan Leha ini selalu bisa meneduhkan pandangan dan menyejukkan hati setiap orang yang berada di sana. Jika ketiga sahabat itu berkumpul, selalu ada kehangatan dan kenyamanan yang membuat Leha dan Rara merasa berat untuk beranjak pulang.

Beberapa menit setelah Leha duduk di kursi panjang bercat putih, Zaraa datang membawa nampan yang di atasnya terdapat dua gelas teh hangat dan biskuit dalam toples. Dia meletakkannya di meja yang ada di hadapan Leha. Lalu ikut duduk bersama sahabatnya itu.

"Zar, tadi lo sudah bicara dengan Abid?" tanya Leha pelan penuh keseriusan.

"Sudah, tapi dia tidak menjelaskan apa pun" jawab Zaraa jujur.

"Kenapa tidak?"

"Entahlah, biarkan saja! Mungkin dia masih belum bisa menceritakan apa yang terjadi. Aku harap dia segera memberi alasan untuk itu." Zaraa meraih satu biskuit dari dalam toples yang sudah dia buka, lalu memasukkan ke mulut.

"Iya. Dia memang aneh. Katanya cinta, tapi tidak mau terbuka sama lo. Gue kadang mikir, Zar, kok dia bisa berubah drastis sejak jatuh cinta sama lo. Padahal kita sama-sama tahu, 'kan? Dia dulu seperti apa?"

"Minum dulu!" Zaraa memberikan segelas teh hangat kepada Leha sebelum mulai dingin.

Seiring cairan bening yang mulai tertelan oleh Leha, Zaraa mulai bercerita tentang semua yang terjadi di rooftop sekolah. Setiap kali mengingat itu, perih selalu menjalar ke relung dadanya.

"Leha, Abid mulai menjauhiku, tapi aku yakin ada alasannya. Karena aku melihat ada siratan luka di matanya," ucap Zaraa yakin di akhir ceritanya. Belum lama cinta itu tumbuh, tapi tidak berpengaruh pada seberapa besar rasa itu ada. Mereka sudah bisa memahami satu sama lain, walaupun masih terbatas.

Tabir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang