"Ketika salah satu tujuan yang selalu aku semogakan adalah melihat kamu selalu baik-baik saja."
-Abid El Adnan
------
Semua guru telah meninggalkan kelas pada jam pelajaran terakhir. Bel pulang mengeluarkan suara nyaringnya. Sebagian siswa perlahan keluar dari kelas masing-masing. Memilih untuk cepat pulang jika tdak ada kegiatan lagi di sekolah yang bisa mereka lakukan.
Kelas Abid tampak sepi, hanya tersisa beberapa orang. Sesuai dengan niatnya, cowok dengan warna kulit kuning langsat itu membereskan buku-buku yang masih berserakan di atas meja. Kemudian memakai hodie birunya. Seragam dan hodie yang melekat di tubuh menambah kadar ketampanannya.
Saat Abid bergegas menuju pintu keluar, seorang perempuan dari kelas lain berjalan menghampirinya dengan selembar kertas dalam genggamannya.
"Ini formulir buat lo, cepat isi dan kumpulkan sekarang," ucap cewek itu ketus, menyodorkan gulungan kertas dengan tangan kanan.
"Nggak Le, gue nggak mau ikut," jawab Abid tegas. Kertas formulir itu tidak beralih ke tangan orang lain, melainkan tergeletak di atas meja.
"Tadi cewek lo yang memintanya, kan?" tanya Leha penuh penekanan.
"Zaraa memintanya?"
"What? Zaraa? No!"
"Lalu siapa?"
"Jangan pura-pura amnesia, deh. Lo itu makan bareng cewek lo masih tadi pagi, bukan satu abad yang lalu."
"Oh, Lidya, dia bukan cewek gue. Lo tahu sendiri cinta gue hanya untuk siapa."
Leha tersenyum sinis. "Sayang sekali, Zaraa nggak sepemikiran dengan lo."
"Maksud lo? Sekarang Zaraa dimana? Kok lo sendirian?" tanya Abid mulai khawatir.
"Zaraa nunggu gue di UKS."
"Dia sakit?"
"Tadi dia bilang sedikit pusing, dia nunggu aku menyerahkan for-"
"Gue ke UKS sekarang." Tanpa mendengar ucapan Leha hingga akhir, Abid segera menyambar formulir pendaftaran dan berjalan dengan langkah lebar ke UKS. Leha yang merasa sudah selesai melakasanakan tugas, segera mengikuti Abid.
•••
"Zaraa," panggil Abid yang kini berdiri di samping Zaraa membaringkan tubuhnya. Cowok itu memberi tatapan khawatir, Zaraa terlihat sedikit pucat. Kedua mata yang sembap tidak bisa dia sembunyikan. Beberapa menit yang lalu, gadis yang selalu memakai celak hitam itu membiarkan air matanya jatuh dalam kesendirian. Kejadian di kantin masih membekas dalam ingatan.
"Kamu kenapa, Zar? Apa yang sakit? Udah minum obat?" tanya Abid bertubi-tubi saat Zaraa mulai membuka kelopak matanya.
"Hanya sedikit pusing, nggak perlu minum obat," tanya Zaraa, berusaha mengambil duduk di atas ranjang. Tidak nyaman bagi gadis itu jika berbaring di dekat lawan jenis selain keluarganya.
Abid berusaha membantu pergerakan Zaraa hingga mendapat posisi nyaman. Namun, gelengan dari gadis berwajah sedikit pucat itu menghentikan tindakannya. Yang dia lakukan sekarang adalah mengamati Zaraa dengan lekat. Dadanya terasa sesak saat menyadari bahwa gadis itu baru saja menangis.
"Kamu kenapa nangis?" tanya Abid menatap ke manik mata Zaraa yang juga menatapnya.
Zaraa mengalihkan tatapan. "Nggak kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir [END]
أدب المراهقينSebuah prinsip yang sudah mendarah daging pada diri Zaraa Keyra, membuatnya berpikir bahwa dia akan terhindar dari hitam dan putihnya jatuh cinta. Semula, di usia remaja dia hanya ingin fokus mengejar cita-cita dan menebar kebaikan. Namun, ternyata...