19. Melangkah Tanpamu

41 2 0
                                    

"Kamu dan cita-cita adalah dua mimpi yang ingin kugenggam dalam kenyataan, meskipun tidak beriringan."

-Zaraa Keyra

-------

Hari di mana semua orang yang menyandang status sebagai pelajar bisa beristirahat di rumah atau pergi berlibur dan bersenang-senang. Tetapi tidak dengan gadis cantik yang sudah rapi dengan sepatu kets putih, mengenakan gamis hitam dan jilbab pashmina berwarna olive. Setelah berpamitan dengan Attar-abahnya, Zaraa segera melaju bersama motor scopy hitam dengan tas di punggung yang biasa dikenakan di sekolah.

Lima belas menit perjalanan, Zaraa tiba di tempat tujuan. Sudah menjadi rutinitas baginya, setiap hari Minggu mengikuti kursus Bahasa Arab. Hari itu selain untuk mengemban ilmu yang menjadi tujuan utamanya, ia juga ingin meminta bantuan Nafisah selaku guru pembimbing yang sudah akrab dengannya untuk membuat teks pidato Bahasa Arab yang akan ia gunakan untuk lomba.

Waktu pembelajaran kursus hanya berlangsung dua jam. Setelah semua murid secara bergantian meninggalkan ruangan. Zaraa menghampiri Nafisah yang masih setia duduk sambil membaca buku di kursi meja guru yang terletak di samping papan tulis depan.

"Assalamu'alaikum, Bu. Maaf Zaraa mengganggu," sapanya dengan sopan.

"Wa'alaikumussalam, nggak mengganggu kok, Zar. Kamu belum pulang?" Nafisah melepas kacamata baca yang baru ia pakai, kemudian menatap Zaraa.

"Belum, Bu. Kalau Ibu ada waktu, Zaraa ingin meminta bantuan," pinta Zaraa sedikit ragu. Walaupun hubungan mereka bisa dianggap dekat, sebagai murid yang harus menghormati gurunya, ia tetap berusaha bersikap sopan dan tahu tata krama.

"Bantuan apa? Katakan saja, Zaraa. Ibu tidak sibuk sekarang." Nafisah menutup buku tentang Nahwu yang biasa ia baca untuk mengisi waktu luang.

"Jadi, Zaraa ingin meminta bantuan Ibu dalam membuat teks pidato Bahasa Arab yang akan digunakan untuk lomba seminggu lagi."

"Dengan senang hati, Zaraa. Ya udah, kita duduk dulu di ruang tamu, yuk!" ajak Nafisah sambil bangkit dari kursinya dan berjalan ke ruang depan yang digunakan untuk menerima tamu.

Zaraa mengangguk dan tersenyum, kemudian mengikuti langkah Nafisah.

"Yang ikut lomba Zaraa, kan?" tanya Nafisah saat ia sudah duduk di sofa bersama Zaraa di sampingnya. Kebetulan pengajar yang lain sudah meninggalkan tempat kursus, jadi hanya ada mereka di ruang tamu.

"Iya," jawab Zaraa.

"Ibu senang Zaraa mau mencoba ikut lomba lain selain olimpiade yang biasa Zaraa ikuti. Sekarang coba tentukan tema untuk teksnya!"

"Untuk tema sudah ditentukan panitia. Yaitu tentang Wanita. Bagaimana menurut Ibu kalau judulnya Keutamaan Wanita yang Bisa Menjaga Kemuliaannya," usul Zaraa sambil mengeluarkan buku catatan dari dalam tas untuk ia gunakan menulis teks pidatonya.

"Kalau begini bagaimana, Zar? Pentingnya Muslimah Menjaga Izzah." Nafisah memberi masukan.

"Bagus, Bu. Ada istilah yang lebih singkat dan indah. Ya udah itu aja. Saya tulis ya, Bu!" Zaraa yang suka dengan judul dari Nafisah merasa senang dan bersemangat saat menuliskannya pada lembar kosong di buku yang berada pada pangkuannya.

"Sekarang kamu coba buat isinya, cantumkan salam pembuka, ucapan penghormatan, ucapan syukur, isi pidato, kesimpulan dan saran, lalu salm penutup. Kalau ada kata yang sulit, tanyakan pada Ibu, ya!" ujar Nafisah.

"Iya, Bu." Zaraa memulai menulis kata demi kata menggunakan pena hi-tec. Dengan menggunakan kemampuan otak yang cukup cemerlang, Zaraa tampak santai, namun tetap berpikir serius.

Tabir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang