"Saat semesta memberi kesempatan pada rasa untuk bersemi, tidak seharusnya hati memilih bungkam dan memudarkan kasih."
-Zaraa Keyra
———————
Zaraa memejamkan mata sejenak, meresapi tekad yang membahana dalam hati. Sampai di detik ini tentu tidak mudah, Allah masih memberi jalan meski ada karang yang mencoba menghentikan perjalanannya. Semua doa, dukungan, dan kepercayaan dari orang-orang seperti sebuah amanat yang membuatnya memiliki kekuatan untuk berusaha semaksimal mungkin.
Suara bising dari transportasi penghuni Bandara Juanda tidak mengusik ketenangannya. Keheningan antara dua remaja yang bergelut dengan pikiran masing-masing tersumbat oleh benturan suara para orang tua yang membicarakan bisnis, ibu-ibu yang berusaha menghentikan tangis bayi mungilnya, dan anak-anak kecil yang bermain-main ria tanpa banyak pikiran.
Menyadari seseorang yang berdiri di sebelahnya dengan mulut terkatup, Zaraa kembali menatap dunia. Ubin mengkilap yang disusun dengan begitu luasnya, seperti hati Zaraa yang telah lapang menerima semua ujian yang menerpa. Beberapa alat trasportasi bersayap dua yang sebelumnya berpijak di permukaan bumi, perlahan lepas landas menuju ketinggian. Demikian juga dengan Zaraa yang ingin terus terbang menggapai mimpi, tak peduli dengan badai yang sering memporak-porandakan pertahannya. Justru setiap rasa sakit membuatnya lebih kuat untuk bangkit.
"Zaraa!" Seruan kompak di kejauhan dari dua gadis yang memanggil namanya membuat Zaraa tersadar dari lamunannya.
Zaraa berbalik, begitu pun dengan cowok di sampingnya. Dia tersenyum penuh syukur, mendapati dua sahabatnya yang berlari dengan semangat. Abid sedikit menaikkan kedua ujing bibirnya, saat dua cowok yang selalu meramaikan dunianya juga datang dengan napas tersengal-sengal dan dahi berpeluh.
"Assalamu'alaikum. Maaf baru datang sekarang, Zar." Leha dan Rara memeluk erat sahabat terbaiknya yang baru saja berada dalam fase terpuruk.
"Wa'alaikumussalam. Nggak apa-apa, kalian sudah sangat membantu. Makasih. Makasih sudah ikut menyelidiki kasus itu. Semoga mereka yang bersalah segera bertanggung-jawab." Zaraa merasa terharu dan sangat merindukan mereka, hingga bulir cairan bening dari matanya kembali mengalir di pipi. Namun, segera diusap olehnya.
"Aamiin. Semangat, Zar. Lo harus pulang bawa piala dan uang banyak untuk traktir kami. Iya nggak, Bal?" celetuk Dika membuat ketiga cewek itu mengurai pelukan mereka.
"Nggak. Cukup Abid aja yang suka lo mintai traktir, jangan ceweknya." Iqbal menjawab dengan tegas, tanpa sadar membuat hati Abid menghangat mendengar kata terakhirnya.
"Ceweknya? Jangan ngadi-ngadi lo, Bal." Rara mulai mengibarkan bendera perang pada sepupunya.
"Ck. Mulai deh," sindir Dika dengan tatapan jengah.
"Zaraa, pokoknya lo harus semangat! Jaga kesehatan! Kami di sini selalu mendoakan yang terbaik. Jangan lupa ngehubungi gue sama Rara, ya, kalau ada waktu luang!" Leha memberi semangat Zaraa dan mengabaikan perdebatan tidak penting yang baru seja terjadi.
"Jangan sedih, Zar! Kami semua selalu siap dukung lo, jangan pernah merasa sendiri, iya, 'kan, Bid?" ucap Dika cengengesan.
"Hem."
"Em ... makasih buat kalian semua." Zaraa tersenyum lebar.
"Sama-sama, Zaraa cantik!" seru Iqbal dan Dika dengan nada tinggi. Lantas bergidik ngeri menangkap lirikan tajam dari cowok ganteng di samping Zaraa.
"Bid, awas aja, ya, kalau lo buat Zaraa gue sedih!" ancam Rara tiba-tiba. Jiwa beraninya mulai keluar.
"Iya, pokoknya lo harus jagain dia! Dari pada Zaraa dijagain sama orang lain, udah gitu cowok ganteng lagi," tambah Leha memberi peringatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir [END]
Подростковая литератураSebuah prinsip yang sudah mendarah daging pada diri Zaraa Keyra, membuatnya berpikir bahwa dia akan terhindar dari hitam dan putihnya jatuh cinta. Semula, di usia remaja dia hanya ingin fokus mengejar cita-cita dan menebar kebaikan. Namun, ternyata...