"Berdiri di bawah langit biru yang menyalurkan banyak cinta. Ingatanku masih tentangmu. Bukan salah satu dari mereka."
-Zaraa Keyra
------
Perkumpulan kaum adam penghuni ruang kelas 10 IPA 5 sedang terlihat serius menyalin jawaban tugas yang harus dikumpulkan hari ini. Setelah mengambil foto dari buku tulis salah satu siswi yang lumayan rajin, semua pandangan mereka hanya sebatas buku tulis dan layar handphone masing-masing. Dika yang biasanya menulis tugas rumah bareng kedua sahabatnya, pagi itu hanya sebatang kara. Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi. Tangan kanan Dika terus melakukan aksi, tetapi otaknya menerka-nerka dimana keberadaan kedua sohibnya.
Sesaat setelah Dika menutup buku tulisnya, pertanda tugas telah selesai. Iqbal dengan nafas terengah-engah dan bulir-bulir keringat di pelipis dan dahi, mendekati Dika diikuti oleh Rara yang juga terlihat capek. Dika berdiri dari kursi sambil melipat kedua tangan di depan dada, menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah dua sejoli di hadapannya.
Dika berdehem cukup keras. "Yang bentar lagi nggak jomblo, pagi-pagi udah pengen nempel aja."
Rara yang nafasnya mulai teratur mendengus kesal. "Siapa juga yang pengen nempel, ogah banget gue sama lem buat nangkep burung emprit."
"Muka ganteng gini disamain sama lem di ranting pohon." Iqbal mengambil duduk santai di belakang Dika yang merasa mual dengan tingkat percaya diri sohib yang satu ini.
"Ya iyalah sama, entar kalau gue nempel sama lo. Nggak bisa lepas yang ada."
"Berarti gue setia dong!" Iqbal membela diri.
"Setia sih setia, tapi sengsara." Rara menjulurkan lidah ke Iqbal dan segera berlari keluar kelas.
Tepat di ambang pintu, penglihatan Rara bertemu dengan sorot mata tajam milik perempuan yang biasa dia sebut mak lampir. Malas berdebat, Rara memilih melanjutkan perjalanan ke kelasnya. Tadi di kelas nggak ada Abid ya. Dimana cowok itu? batin Rara bertanya-tanya.
"Mana tugas lo, gue salin cepetan," pinta Iqbal sambil menepuk bahu kanan Dika dari belakang, cowok itu mulai panik karena bel masuk kurang enam menit.
"Nih." Dika berbalik ke belakang sambil menyodorkan buku tulis berisi tugas matematika. "Salah lo sendiri, udah tau ada tugas. Pakek acara mesra-mesraan sama kerabat sendiri."
"Diem dulu deh, gue bisa nulis cepet kok." Benar sekali ucapan Iqbal. Tetapi ya gitu. Mustahil tulisannya rapi dan mudah dibaca.
Saat hendak kembali menghadap depan, Dika dikejutkan dengan kehadiran tamu yang tidak diharapkan. "Mau ngapain lo?"
"Ketus amat sama pacar sohib sendiri, santai dong, Dik."
"Langsung to the point, bisa?" tanya Dika sambil melihat amplop putih di genggaman tangan Lidya.
"Pacar gue nggak masuk, ini surat izinnya," jawab Lidya santai sambil meletakkan amplop putih paperline di atas meja Dika.
"Lo boleh pergi," usir Dika secara halus.
"Enak aja main usir. Nggak ada sopan-sopannya banget, sih. Bilang makasih juga kagak," balas Lidya dengan kesal.
"Nggak usah ngarep. Udah sono keluar." Pengusiran Dika secara terang-terangan bersamaan dengan bunyi bel masuk. Lidya yang masih kesal dan tidak terima penghinaan terpaksa keluar dengan tas ransel di punggungnya. Iqbal yang sejak tadi sempat melirik Lidya yang menahan kesal juga sudah menyelesaikan tugasnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tabir [END]
Fiksi RemajaSebuah prinsip yang sudah mendarah daging pada diri Zaraa Keyra, membuatnya berpikir bahwa dia akan terhindar dari hitam dan putihnya jatuh cinta. Semula, di usia remaja dia hanya ingin fokus mengejar cita-cita dan menebar kebaikan. Namun, ternyata...