42-BALIKAN

256 48 41
                                    

[FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA JUGA VOTE & KOMEN YAA KARENA ITU SANGAT BERGUNA BANGET BUAT AUTHOR]

Sebuah batu nisan bertuliskan 'Awan Razenka bin Guntur Razenka' tengah berdiri di atas gundukan tanah. Mereka tak mengira gadis kecil itu akan meninggal begitu cepat.

Petir hanya bisa menangis di atas gundukan tanah itu. Semua orang bersedih, kecuali Pelangi yang sudah tersenyum puas karena anak yang sama sekali tidak ia inginkan sudah lenyap. Memang benar-benar tidak pantas dipanggil seorang ibu!

"Ayo mas kita pergi, ngapain nangisin anak pungut itu," ujar Pelangi pada Guntur membuat Petir mengepalkan tangannya.

Plak.

Satu tamparan mendarat di pipi kanan Pelangi membuat pipinya memerah. Guntur yang telah menampar Pelangi, tak mengerti lagi harus sesabar apa menghadapi dia.

"Mas? Kamu nampar aku?!" Memegangi pipi kanannya yang panas.

"Awan juga adalah anak aku! Walaupun aku mengambil di panti asuhan, tetapi aku sudah menganggapnya sebagai anak. Sudah berapa kali aku bilang, jangan hina dia dengan sebutan anak pungut!"

"Kenapa sih mas kamu selalu belain dia? Lihat mas, dia udah mati. Udah gak guna nangisin dia!"

"Awan pantas mati. kalau gak, pasti dia akan dapet hinaan dari mama terus-menerus," ujar Petir sambil memandang gundukan tanah itu.

Cih! Bahkan menyebut wanita di depannya ini sebagai 'mama' pun membuat Petir jijik.

"Petir kamu jangan ikut campur ya!"

"Aku sudah lelah menghadapi kamu, kita akan cerai!" ujar Guntur, meninggalkan Pelangi dengan amarah. Tak tinggal diam, Pelangi langsung berlari menyusul Guntur.

Suara bayi terdengar, menunjukkan Rembulan dan Langit sudah datang untuk sekedar berbela sungkawan atas kematian Awan. Di sepanjang perjalanan, bayinya menangis terus-menerus. Mungkin ia juga tau bahwa ibunya telah meninggal.

"Maaf kami terlambat," ucap Rembulan sambil menggendong bayi.

"Kak Rembulan ngapain ke sini? Kan kasihan bayinya," ujar Mendung menatap bayinya kasihan.

"Bayinya tadi nangis jadi kakak bawa ke sini, siapa tau dia tenang setelah melihat makam ibu kandungnya."

Setelah keduanya datang, langsung saja mereka menaburi makam Awan dengan bunga mawar lalu berdoa. Akhirnya bayi yang digendong Rembulan berhenti menangis, Langit memandangnya takjub.

Awalnya Langit tak mau menghadirinya, namun Rembulan memaksa dengan alasan bayinya terus menangis. Dia kira Rembulan hanya beralasan, namun ternyata memang benar adanya.

Langit melirik Petir yang tengah bersedih, ia baru tau jika yang membunuh ibunya adalah Rain kembarannya Petir, Langit jadi merasa bersalah. Jika seperti ini bagaimana caranya minta maaf?

Langit berdehem. "Maaf."

Petir melirik pada Langit. "Apa?"

"Lo budek? Gue bilang maaf."

"Maksudnya kak Petir itu, maaf kenapa? Kan kak Langit gak salah?" ujar Mendung mewakili Petir

"Gue salah, berasumsi dulu sebelum tau yang sebenernya. Sekarang gue izinin lo berhubungan sama adek gue, tapi awas aja kalo adek gue nangis gara-gara lo! Gue santet lo!" ucapnya lalu tersenyum. Cie bang Petir dapet lampu ijo nih!

Mendung memukul lengan Langit. "Ih kak Langit main santet aja, kan santet itu dilarang oleh agama islam, para ulama mengatakan—"

"Baik, karena hari sudah mulai malam jadi mari kita pulang, ayo Rembulan sayang," ujar Langit memotong ucapan Mendung yang hampir saja mau ceramah lalu merangkul tubuh istrinya.

Between Petir Dan Mendung [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang