Daftar Kesalahan Ica:
1. Tidak menangis saat El dibawa ke rumah sakit.
2. Lebih mementingkan Tutu sialan daripada suami.
3. Tidak cemburu.
4. Tidak merawat suami selagi sakit.
5. Hampir terluka karena bertindak tanpa otak.El masih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin terlewati. Selagi ia mengawasi istrinya bertingkah seakan ia anak kecil yang sedang mendapatkan masalah besar.
"Maaf, El." Dua ujung telunjuknya saling diadu dan kepalanya menunduk takut.
"Maaf, kau pikir mudah?!" Suara El meninggi. Bahu Ica tersentak sedikit. Pelupuknya menjadi memanas.
"Berikan alasanmu mengapa kau membahayakan dirimu tadi. Mungkin dengan begitu hukumanmu sedikit meringankan."
"El, kan sedang sakit. Biar cepat sembuh, tidur lagi saja. Kata dokter tadi, Ica tidak boleh ganggu," bujuknya, metode menghindari El.
"Persetan dengan dokter! Kau tidak mau melihatku marah, kan Ica?!" Bahkan hal pertama yang dipikirkan El setelah sadar adalah mencemaskan Ica. Ketakutan terbesarnya, Ica terluka karena Kiara.
Syukurlah El bisa menyelamatkan Ica, meski harus mengorbankan diri, tapi itu setimpal harganya dengan Ica yang baik-baik saja.
Namun bukan berarti Ica lolos dari kemarahan El. Ia akan selalu marah jika Ica tidak mau berhenti menceburkan dirinya ke dalam bahaya.
Dan Ica menangis. "Ica gak suka perempuan jahat itu memeluk El. Ica gak suka dia cium El. Jadi, Ica pukul dia."
El belum pernah menemukan kebohongan dari mulut Ica sejauh ini, jadi ia yakin kali ini pun sama.
Kemarahannya menurun drastis. Sedikit kedut di dua bibirnya. Tak mau mengakui kalau ia senang. Tanpa sadar gadis itu menunjukkan sedikit cemburu, meski dengan cara brutal.
"Kemari."
Tidak ada marah di dalam suaranya. Ica seketika mengangkat kepala untuk memastikan wajah pria itu tidak terkandung marah. Memang benar.
"Aku tidak suka mengulangi perintahku, Ica."
Sepelan mungkin Ica membawa sepatu kerlap-kerlipnya mendekat. Sampai pinggangnya menyentuh pinggiran alumunium ranjang. Hangat sentuhan jemari El pada telapak tangannya.
"Dua hari tidak melihatmu, aku merindukan kebodohanmu. Sementara kamu, lebih peduli pada Tutu daripada aku. Kau pantas mendapatkan hukuman."
"Tutu kasihan dia mencret gara-gara tidak suka susu pemberian Ica."
Ternyata lebih kasihan Tutunya yang mencret ketimbang suaminya yang nyaris tewas. Barangkali kalau ia tewas, Ica mungkin satu-satunya yang tidak menangisi pemakamannya. Memikirkannya makin menumbuhkan jengkel. Suami yang menyedihkan.
"Apa pun alasannya, aku tak mau dengar. Naik sekarang." El menepuk sisi ranjang yang kosong.
"Ica tidak ngantuk."
"Temani aku tidur."
"Apa perlu Ica mendongeng juga supaya El bisa tidur?"
"Boleh."
Karena El sudah tidak marah lagi, Ica berani mengangkat pinggulnya ke atas dan melepas sepatu kerlap-kerlipnya. Menyisakan kaos kaki saja.
Lemah bukan halangan untuknya mendekap tubuh mungil Ica. Dengan berbantalkan lengan atas El, kepala Ica terkulai di sana.
"Tangan El?"
Nyeri pada tusukan jarum infus tidak menghentikan keinginan El untuk memuaskan rindunya. Namun ia tak menyatakannya dengan jujur, melainkan bilang, "Menghukummu jauh lebih penting."