Kafka nyaris memanggil teknisi, kalau saja pintu lift tak kunjung terbuka. Pria muda itu mendesah lega, lempengan besi itu akhirnya menggeser berlawanan.
Herannya di balik pintu itu berdiri bos dan istrinya, terlihat gugup membenahi penampilan rambut yang di mata Kafka berantakan. Kulit wajah seputih pualam Ica merah padam. Ada keganjilan yang coba Kafka terka.
"Tuan dari mana saja, saya cari-cari dari tadi."
El berdeham, menggandeng Ica keluar. "Ada apa?" Tidak merespons pertanyaan Kafka, justru pria itu bertanya balik.
"Rapat. Anda sudah terlambat ...." Kafka melirik jam di tangannya. "Sepuluh menit."
Mengumpat lirih, El menyalahkan pikun serta kendalinya yang lepas tadi di dalam lift. Catat baik-baik, meski Ica sangat menggiurkan di setiap saat, El harus lebih menahan diri dan cari tempat yang pantas untuk bermadu kasih.
"Ica." Beralih menghadap Ica, El menyentuh pundak istrinya dan berkata. "Tunggulah di kantorku, Kafka akan mengantarmu. Sementara aku harus kerja."
"Ikut, ya El!"
Dan El akan hilang konsentrasi jika Ica mengikutinya ke ruang rapat. Apalagi ... matanya menjurus pada belahan Ica yang tampak, cepat-cepat ia membenahi model kerah sabrina. Sayangnya, lehernya tak bisa diselamatkan oleh bekas gigitan hasratnya. Astaga! Tidak mungkin ia mengizinkan Ica bersamanya, nanti semua peserta rapat akan melihat lehernya dan berasumsi macam-macam.
"Kafka, sekalian kau belikan Ica syal secepatnya."
"Apa Nona sakit?" Kafka memutar tatapan pada Ica dan ia baru sadar ada tanda kemerahan di sana. Pipinya memanas. Kafka jadi tahu penyebab lift berperilaku aneh, ternyata dibajak bosnya.
"Jaga matamu, Ka!"
"Eh, i—iya. Maaf."
"Ikutlah, Kafka. Aku hanya sebentar." Tak lupa sebuah kecupan hangat ia berikan di kening Ica.
Ica merajuk, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, selain mencebik dan menuruti suaminya.
***
Sejam habis Ica gunakan untuk rebahan, bermain game di ponsel. Bosan. Ia berselancar di dunia maya, sambil belajar.
Ruangan El amat luas. Membuat betah. Ada kamar juga dengan ranjang tak kalah empuk dari rumah. Namun ia tidak menidurinya, memilih sofa di ruang kerja yang juga besar, muat untuk badan kecilnya.
Ica menurunkan ponsel, mendesah bosan. Ia mengamati ruangan sunyi itu. Bangkit terduduk. Haus menyerang. Ia mau mencari minum. Masalahnya, bagaimana cara ia mendapatkan minuman? Oh, ada kulkas kecil di pojok ruangan.
Ica turun, setengah berlari antusias. Begitu kulkas dibuka, banyak sekali kaleng soda. Ica ambil satu. Menyesapnya rakus.
Sekarang giliran lapar mengantre minta dipuaskan. Ica harus mencari makan, tapi ruangan itu kebanyakan berisi kertas yang tidak bisa dimakan.
El juga tidak kunjung datang, padahal janjinya hanya sebentar. Nekat, Ica keluar. Dua daun kaca itu dibuka, tanpa takut melangkah.
Banyak hal yang baru Ica lihat. Gedung yang diinjaknya ternyata menyimpan hal-hal keren. Mengajaknya untuk lebih mengeksplor hal-hal baru tersebut.
Hingga laparnya terlupa.
Orang-orang yang bekerja di balik PC. Suara tekanan keyboard. Mesin fotocopy. Dengung mulut ke kulut. Membawa nuansa asing yang menakjubkan. Ica seperti dibawa ke dunia lain dari sekelumit kesibukan pekerja kantoran.
Tanpa terasa kakinya menapak tempat-tempat menakjubkan lain. Melupakan lupa, lelah, bahkan berapa jarak yang ditempuh dari jarak titik awal ia bermula pun sudah tak lagi terjangkau.
Ica tidak sadar ia sudah tersesat.
***
Leon, pemuda magang yang baru seminggua bekerja, bersiul. Ia mengantongi banyak nomor wanita. Karena paras tampannya, mahasiswa managemen semester akhir itu cukup diminati wanita-wanita yang genit kepadanya.
"Hiks ...! Hiks!"
Tunggu! Tangis misterius, tanpa wujud tidak ada di mana-mana setelah Leon cari. Tidak mungkin semua perusahaan bonafit tersebut, memelihara hantu yang bergentayangan di siang bolong.
Mungkin ia salah dengar.
Namun, suaranya makin jelas.
Keberanian Leon, makin menipis, ia sudah ancang-ancang dengan jurus kabur, tetapi seonggok manusia di balik pot plastik melupakan niatnya. Untuk lebih menyakinkan diri tidak salah lihat, ia mendekat. Masih dengan takutnya yang belum purna.
Lantas berjongkok, menghadap sumber tangis misterius. Seorang perempuan mungil. Paru-parunya mengembang lega.
"Adek kecil, kok bisa di sini?"
Sosok perempuan itu tidak menjawab. Sibuk menangis.
"Kakak, gak berbuat jahat, kok."
"Mana orang tuamu? Kamu tersesat, ya?"
Respons pertama, hanya berupa anggukan tapi itu sudah cukup melegakan Leon.
"Ica tersesat!"
"Kakak bantu, ya?"
"Beneran?" Mata bulat itu mengerjap lucu, meluncurkan setetes air mata terakhir.
Perempuan ini manis juga. Tipe Leon sekali. Imut kayak gadis loli, tapi kelihatan masih bocah, pasti masih SMP.
"Umur adek berapa kalau boleh tahu?"
"18 tahun."
"Eh!" Tidak menyangka wajah terlalu muda dari umur. Mengejutkan Leon.
"Panggil aku Kak Leon. Nama adek siapa?"
"Marisa Filan. Panggilannya Ica."
Cantik!
"Yuk, ikut kakak. Kakak bantu cariin orang tua Ica." Leon menjulurkan tangan, hanya dipandangi saja. Namun akhirnya tangan besar itu tersambut. Senyum tampan Leon makin lebar.
Halus. Tangannya sangat halus. Hati Leon berdesir.