12. Dua Hati yang Patah

788 77 4
                                    

Bunyi bel menjadi akhir dari lika-liku ujian beberapa hari ini. Helaan lega dan sorak senang merayapi ruangan itu. Satu-satu dari mereka meninggalkan layar komputer yang dibiarkan tetap menyala.

Gara menjadi orang terakhir di ruangan itu yang beranjak. Ujung matanya mengamati bagaimana ekspresi teman-temannya beda-beda. Ada yang puas, bersyukur, bodoh amat dan lesu.

Gara sendiri, dari sekian ekspresi itu tidak ada yang menyambangi hatinya. Eforia pasca selesainya ujian seolah lenyap dan Gara hampa. Bukan sebab ia tak mampu melewati soal-soal yang diujiankan. Justru ia amat mudah mengerjakan setiap soal tak lebih dua menit. Lalu apa? Tentu saja karena perihal cinta yang merenggut seluruh senyumnya. Jika keadaan tidak mengharuskan ia tersenyum, tak akan melakukannya.

Menarik napas dalam dan mengembuskannya demi membebaskan sesak yang tiba-tiba mampir, ia melempar fokus pada angin. Pada apa yang ia bawa. Daun coklat yang melayang sebelum jatuh dramatis ke tanah. Seperti itulah dirinya.

Ibarat daun yang pasrah pada apa yang terjadi, tidak mau melakukan apa-apa demi keinginannya. Ada saatnya ia dipaksa menyerah oleh takdir. Lantas tiba-tiba sebentuk kerut di antara alisnya yang lebat.  Apakah benar Ica bukan takdirnya?

Jika iya, Gara akan menerima keputusan itu seperti daun yang tak membenci angin. Gara pun tak akan membenci Tuhan yang tidak mengabulkan inginnya.

Bahunya mendadak berat. Sebuah lengan merangkulnya dari belakang dan Gara sedikit goyah, untung tak terjerembab ke depan. Pelakunya Andi. Pasang cengiran. Bahkan untuk kesal saja, Gara tidak punya daya untuk melakukannya.

"Yo, Bro kita makan-makan, kuy! Anggap saja sebagai perayaan terbebas dari ujian hidup. Sial! Perut gue tawuran."

Gara tak berekspresi. Ia memungut ransel yang sejak hari pertama dilarang masuk ruang komputer dan mendiami loker di luar kelas.

Terserah Andi mau membawanya ke mana. Gara sudah tak memiliki gairah hidup sekarang bahkan berminggu-minggu yang lalu pasca keputusan pernikahan Ica dan abangnya dipercepat. Satu minggu setelah pengumuman kelulusan. Saat itu Gara mendengar keputusan dari orang tuanya bagai didorong dari atas lantai gedung tertinggi.

Tahu-tahu Andi membawanya ke gedung sebelah. Gedung IPS dan ia tahu ke mana tujuan kaki Andi berjalan. Kelas Re dan itu sama saja kelas Ica. Wajahnya masih sedatar ubin keramik yang ia pijak begitu muka mereka bertemu.

"Kita makan-makan, yuk!"

Ica begitu gembira mencangklong tas berkarakter Frozen ketika Andi menyelesaikan ucapannya.

"Ica ikut!"

"Boleh. Gara yang traktir."

Kebiasaan tiap kali hal menyenangkan tampak atau terdengar bagi Ica, reaksi pertama selalu bertepuk tangan.

"Gimana ujian lu Re?" Andi melepas rangkulannya terhadap Gara dan gantian merangkul pacarnya posesif.

"Lumayanlah, aku yakin aku bisa dapetin rata-rata delapan puluh," jawab Re penuh percaya diri.

"Ica gak ditanya?" seru Ica tiba-tiba.

"Gak usah, udah tahu!"

"Wah, Andi hebat!"

Kerut dahinya semakin dalam. "Hebat apanya?!"

"Bisa tahu nilai Ica, padahal ngerjainnya lewat online. Kok bisa? Ajarin Ica, dong."

"Serah lu, dah. Gue kibarin bendera putih."

Re tertawa melihat pacarnya yang berjambul itu mendengkus kalah.

"Jadi nggak kita makan-makan?"

"Jadi, dong."

Bahkan ketika mereka berada di meja kafe terdekat dari sekolah, Gara mengatupkan rapat-rapat bibir. Jika tidak ditanya, dia memilih diam.

Istri OonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang