#Istri_Oon
18. Pulang Bersama"Apa yang kalian lakukan di sini?"
El tidak menyangka akan bertemu dengan adiknya dan istri bodohnya di Plaza.
Keduanya saling tatap sebelum Ica yang menjawab. "Kami beli peralatan menjahit dan beli es krim."
"El, mau es krim?" Ica menyodorkan cone es krim rasa coklat bertoping lelehan marsmellow dan taburan chocochips tepat ke wajah El.
Hal yang tak terduga bagi ketiganya, terlebih untuk El sendiri ia mendekatkan mulut dan meraup setengah gunung es itu. Ica melongo sesaat sebelum ia mengentak kaki, kesal luar biasa karena es krimnya berkurang banyak. "El, jahat. Minta ganti!"
"Salah siapa tadi menawari," kilah El dengan senyum miringnya.
"Tapi, kan Ica kira El bakalan minta sedikit." Lengkap dengan kerucut bibirnya yang menggemaskan.
"Bang, sedang apa di sini?" potong Gara.
"Aku bertemu teman. Kalian sudah selesai?" tebak El saat melihat kantong plastik di genggaman Gara.
"Iya." Gara tak meneruskan ucapannya ketika ia mendapatkan telepon dari Sana.
"Ada apa Sana?" Gara mendengarkan tiap kata di seberang. Memunculkan kerut di dahinya makin banyak.
Tidak butuh waktu lama bagi Gara untuk menyelesaikan bicaranya dan melesakkan ponsel ke jaket.
"Mobil Sana mogok di jalan. Dia meminta bantuanku. Abang bisa antar Ica pulang?" Sebenarnya Gara agak ragu mengandalkan Abangnya yang selalu sensi kepada Ica. Namun ia juga tidak bisa membawa Ica ikut bersamanya.
"Tentu." El menjawab singkat. Hal yang masih belum bisa Gara percayai.
El menyadarinya dan ia berkata. "Aku tidak sekejam itu meninggalkan Ica jika itu yang kau pikirkan."
"Bagaimana aku bisa percaya jika Abang membenci Ica."
El berdecak. "Sudah sana pergi?! Kau mau membuat temanmu menunggu lama karena perdebatan konyol ini?"
Mau tak mau Gara mempercayakan Ica kepada El. Mengalihkan tatapan kepada Ica, Gara berkata. "Ica pulang sama Bang El, ya."
"Iya, Gara. Hati-hati di jalan, jangan lupa pakai sabuk pengaman, okey!" Tak lupa sebentuk 'oke' diberikan Ica lewat dua jarinya.
Gara tersenyum, menepuk sekali kepala Ica dan membalas 'oke', juga dengan jemarinya.
Interaksi Gara dan Ica tak lepas dari pengamatan El. Kernyihan di antara kening muncul. Sungguh suatu hal yang sedikit mengganggu, bukan karena El cemburu atau apa, tetapi tatapan Gara terlalu berlebihan untuk disebut kasih sayang di lingkaran pertemanan mereka. El memupuk penasaran, menelan sendiri asumsinya tanpa ambil pusing.
"Ikut aku," tukas El begitu Gara telah pergi. Kantong-kantong belanjaan beralih tangan kepada El. Ia bersedia membawa mereka, meski enggan.
Ica seketika menghentikan lambaian tangan pada Gara dan melompat buru-buru, mengejar El yang unggul empat langkah.
Display berjajar menawarkan item produk memikat mata Ica. Gumaman meluncur selaras kekaguman pada pernak-pernik aksesoris yang terpajang. Ica berhenti, melupakan El dan memberi distansi cukup lebar di antara mereka.
El menyadari si bodoh tak mengikuti, ia berbalik dan mendecak. Ogah-ogahan menyusul Ica.
"Apa yang kaulakukan?! Waktuku sangat berharga. Jangan menyia-nyiakannya untuk hal remeh." El menarik lengan atas Ica menjauh, tapi Ica meronta.
Lantas bilang, "Aku ingin itu, El. Lucu!"
Layaknya bocah yang baru menemukan benda ajaib, antusias Ica bukan main merepotkan. Gadis itu berontak dengan seluruh semangat yang ada. Berhasil lepas dari El. Kemudian memasuki toko untuk memberitahukan pada pelayan toko apa-apa yang diinginkannya.
El menghela napas. Ia jadi teringat janjinya. Mendekati Ica, ia mengatakan kalimat yang membuatnya menegun karena Ica tiba-tiba memeluknya.
"Yeay! Terima kasih, El. El baik." Hanya tiga detik, Ica baru melepas pelukannya dan mengambil apa pun yang ia inginkan.
Padahal El cuma mengatakan, "Baiklah, aku pernah berjanji untuk memberimu hadiah. Kau ambillah apa pun yang kau inginkan sebagai hadiah." Tetapi gadis itu bahagianya setara mendapatkan lotre barang mewah. El menikmati ekspresi itu seraya berdiri mengawasi setiap gerak gerik Ica yang lincah berpindah tanpa ragu.
Ujung mata El menangkap bando bertelinga beruang. Ia ambil satu dan menyatukannya dengan pernak-pernik pilihan Ica untuk ditotal harganya.
Untuk kali pertama dan sesaat, El melupakan bahwa ia seharusnya membenci Ica.
***
"Kita ke apartemenku sebentar," ucap El di sela kesibukkan menyetir.
Ica yang awalnya menaruh antensi pada gantungan ponselnya yang baru, mendaratkan tatapan lugu pada El seluruhnya.
"Ngapain?"
"Ada urusan." Padat. El hanya malas menjabarkan perihal dokumen yang harus ia siapkan sebagai kontrak perjanjian merger antara perusahannnya dengan perusahaan konstruksi lain. Karena ia tahu pasti, penjelasannya yang bahkan disederhanakan saja Ica tak akan mampu menjangkaunya lewat otaknya yang limit kapasitas.
Jawaban El bukan soal yang patut Ica pusingkan, ia kembali bernyanyi. "Do you wanna build a snowman? Come on lets go and play ...." Sebuah lagu yang ditujukkan Elsa pada Ana di film Frozen. Lantas menekuri gantungan ponselnya yang berbentuk Doraemon.
Dan sepanjang jalan, El tidak sekali pun berniat menyentuh radio. Membiarkan setiap sudut mobilnya diisi suara lucu khas anak-anak milik Ica. Di tengah macet pun yang biasanya membuat El terperangkap jengkel, kini tak dia rasakan. Justru untuk kali pertama bersama Ica, El merasakan apa itu rileks.