Ini pertama kalinya Ica menginjak lantai gedung perusahaan milik keluarga El. Kata, "Wow!" Seakan kurang banyak untuk diucapkan sekali. Mungkin sudah lebih dari lima kali Ica melafalkannya semenjak tulisan besar OXEN Group di pelataran gedung menyambutnya, serta balok besar itu yang menjulang seolah-olah menjamah awan.
Hingga takjubnya berlanjut di lobi. Pada luasnya, mewah, kinclong, futuristik dan ramainya. Seperti ada pancaran ilahi yang bling-bling memanjakan netra. Belum lagi lantai-lantai lainnya. Pasti tak kalah W.O.W.
Begitu mereka datang, para karyawan yang berpapasan, menggangguk hormat. Dibalas senyum ala kadarnya oleh El. Ica sendiri, menggunakan tangannya untuk melambai dan menyebut nama. Bersikap terlalu ramah sampai orang-orang melabelinya terlalu aneh.
"Halo, semuanya. Nama Ica, Marisa Filan. Panggilannya Ica."
Mulut memang menyambut senyum manis, tapi siapa sangka batin mereka menyimpan sedikit celaan.
Prespektif mereka jalan. Kabar yang dihembus dari mulut ke mulut, menyebar bagai virus. Mereka dapatkan dari kafetaria, bilik-bilik kerja, waktu istirahat yang mana sangat tepat untuk bergosip.
Benar rupanya istri bos mereka, memiliki kecenderungan bodoh di level sudah mengkhawatirkan. Pertanyaannya, bisa-bisanya Elazar Rayana menjadikannya istri sementara masih banyak pilihan wanita bagus, baik fisik maupun intelijensi yang lebih-lebih, membeludak bak buih di sekelilingnya.
"Ini istri saya. Perlakukan dengan baik selama dia ada di sini." Sikap El yang angkuh, mengerutkan nyali mereka.
Jabatan memang memiliki sihir yang bisa membuat orang lebih kecil jadi makin kecil dan tunduk.
"Ba—baik!" Serempak mereka menyahut. Terlepas gosip yang beredar, mereka tak bisa seenaknya merendahkan istri bos besar mereka terang-terangan. Selain takut dimarahi, mereka tak ingin dipecat secara tidak hormat.
Kabarnya, El bukan manusia yang berkompromi menyangkut profesionalitas dunia kerja. Pria itu tidak segan mencaci maki seseorang yang tidak becus dalam pekerjaan sebelum dipecat. Lebih mengerikannya lagi, ia tega mem-black list orang tersebut hingga sulit untuk diterima di perusahaan bonafit lainnya.
"Ica kalau kerja di sini, pantesnya kerja apa?" Ica mendongak kepada El. Mereka baru saja menaiki lift khusus direksi, setelah meninggalkan orang-orang di lobi tanpa sempat membalas perkenalan.
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"Ica lihat tadi orang-orang tadi keren pakai baju kantor. Ica juga pengin pakai baju itu biar kayak kakak-kakak cantik di balik meja."
Setelan blus dan rok span selutut, seakan ditaburi bubuk emas di mata Ica, menjadikannya terkesan mewah, bling-bling dan menakjubkan. Wanita-wanita di balik meja konter sangat cantik dengan penampilan itu, menggoda Ica untuk tidak sabar berpakaian sama seperti mereka.
Kalau ditilik kemampuan otak, Ica tidak memiliki kapabilitas di sektor penting mana pun di perusahannya. Kecuali, bagian gudang atau cleaning service, itu juga sesuai dengan pendidikan terakhir Ica, SMA.
Jelas El menolak mentah-mentah. Dua tempat itu tidak layak untuk seorang istri CEO.
Spontan saja El mengusap tengkuk. Tidak enak hati untuk berkata jujur, meski selama ini mulutnya lebih pedas melebihi bubuk cabai kalau sudah membahas pekerjaan yang tidak sepadan dengan inginnya. Jelek bilang jelek, bagus bilang bagus.
Namun ini Ica, istrinya yang begitu ia cintai. Tidak akan pernah ia menyamakan perlakuan kejamnya pada karyawan kantor kepada istri tercintanya.
"Bukannya kamu ingin jadi desainer dan koki sekaligus?" El memposisikan tubuh di belakang Ica. Melingkarkan lengan di sepanjang perutnya. Dagu ia taruh di kepala Ica, tanpa membebani berat tubuh El pada pemilik badan mungil itu.
"Bosan." Terdengar merengek.
"Aku bisa buatkan kau butik, atau kafe kecil. Terserah kau mau mengurusnya bagaimana."
"Ica bilang bosan!"
El mengisi penuh paru-parunya dengan sabar. "Jadi, maunya gimana?"
"Ica mau kerja di sini!"
"Kantor tidak cocok untukmu."
Gerak tiba-tiba berasal dari kepala Ica yang terangkat ke atas, El terpaksa menjauhkan dagu. Menatap dalam sepasang mata malaikat itu. Malaikat saja El tidak pernah tahu, bagaimana ia dengan entengnya menyamaratakan mata Ica dengan mata malaikat? Pokoknya hal tidak masuk akal bisa jadi realistis kalau sudah melibatkan cinta.
"Kenapa? Karena Ica bodoh, ya. Jadi, gak cocok kerja di sini!"
Bibir merah alami yang mengerucut itu mengundang El untuk memakannya, tapi El tidak serakus itu membiarkan Asmedous-nya ambil kendali. Setidaknya ia masih waras untuk melakukannya di kantor. Di dalam lift pula. Oh, betapa sebuah kesempatan dan angan yang sangat menggoda.
"Kamu lebih pantas melayani suamimu ini di ranjang." Pria itu mengangkat Ica sekali sentak. Merapatkannya ke dinding.
Kendati panel sudah sampai tujuan, El menahannya dengan sekali tombol hanya untuk memuaskan fantasi liarnya yang sudah tidak bisa dimusyawarahkan.
Tanpa mereka sadari Kafka di luar lift menunggu lama kotak besi itu yang tak kunjung terbuka, sambil berpikir, "Apa lift-nya rusak, ya?" Melirik resah panel yang terus bergerak turun-naik.
***