Ica menekan touchscreen ponselnya dengan kesal."Gara sedang sibukkah? Kok, telepon Ica gak diangkat?!"
Bahkan puluhan pesan dengan tulisan sama tidak satu pun berbalas.
{Gara, kan sudah janji anterin Ica di hari pertama Ica kursus? Ayo, berangkat.}
Ica mencebik seiring waktu bergulir, habis hanya untuk menanti kepastian janji Gara yang tak tentu. Matanya mulai berkaca-kaca. Padahal dia sudah bersiap menggendong ransel dan tinggal berangkat. Semangat mengikuti kursus perdana, pudar sudah.
Ting!
Ponselnya berbunyi sekaligus bergetar. Senyumnya merekah menemukan balasan dari Gara. Ica pun membacanya keras-keras.
(Maaf, aku sedang kencan dengan Sana.)
"Kencan dengan Sana?" Seketika senyum Ica lesap. Ica jadi ingat Re sering kencan dengan Andy karena mereka pacaran. Alasannya mereka saling suka dan cinta. Apakah Gara dan Sana juga seperti Re dan Andy yang pacaran karena suka dan cinta?
Ica tidak mengerti mengapa dadanya mendadak sesak dan air matanya langsung meleleh.
Yang pasti, sejak mengenal Gara, baru kali ini Ica dibuat marah, kecewa dan sedih sekaligus. Semua itu menyublim menjadi satu rasa. Benci.
Ya, Ica membenci Gara karena pemuda itu telah berbuat jahat kepadanya, terutama hatinya.
***
Semalam nyaris saja El mendapatkan haknya kalau saja bayangan Jihan tidak menari di kepala. Ajaibnya, gairahnya padam saat itu juga dan mereka menghabiskan sisa waktu dengan berbincang sampai kantuk datang.
Jihan dan perkataan wanita itu di apartemen kemarin, yang tak sengaja El dengar, yang membuat pikirannya terganggu. Ia hendak mengambil jasnya kembali yang tertinggal, tetapi urung karena begitu syok dengan kejujuran wanita itu. Pada akhirnya El membiarkan jasnya di sana dan pulang.
Sampai sekarang, Jihan tidak mau enyah di kepala. Berkeliaran mengusik konsentrasinya dalam bekerja. Kopinya bahkan telah mendingin tak ampuh mengembalikan konsentrasi.
Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka ke dalam, memunculkan wanita yang mengganggu pikirannya.
"Aku datang untuk mengembalikan jasmu yang tertinggal di apartemenku." Jihan melangkah penuh percaya diri. Ia letakkan paper bag ke meja lain di sudut ruangan.
"Thanks." El menjawab.
"Aku pergi."
"Tunggu!" Baru setengah jalan, Jihan terpaksa berhenti karena El mencegah. Berbalik badan untuk menatap heran El yang berdiri dari takhtanya. Mengelilingi mejanya yang penuh sebelum menyenderkan pinggul ke sisi meja. Lantas melipat lengan di dada, serta menatap selidik wanita itu.
"Kau mencintaiku. Apa benar, Ji?" El berkata pelan tanpa mengurangi ketegasan.
Sepasang manik coklat itu membulat kaget. "Omong kosong macam apa yang kamu bicarakan?!" Jihan begitu marah karena gugup dan terkejut. Begitulah seseorang yang terindikasi tertangkap basah menyembunyikan sesuatu yang tak ingin diakui.
Kecerobohan tak termaafkan seumur hidup. Jihan mengutuk dirinya.
"Aku belum pulang waktu itu karena aku ingin mengambil jasku. Dan kau mengatakan jatuh cinta kepadaku."
Andai pasir isap muncul di kakinya atau meteor jatuh ke gedung ini. Atau paling masuk akal, seseorang siapa saja datang ke ruangan ini sehingga ia bisa kabur.
Sayang, berdetik-detik tanpa kata tidak jua ada tanda-tanda kesempatan menghindar.
Jihan tertawa sarkastis. "Ka—kamu pasti salah dengar. A—ku ada janji, buru-buru harus pergi."