"Bagaimana perasaanmu kepada El dan Gara, Ica?"
"Hah?"
Lilian tidak kesal ketika yang didapat dari pertanyannya hanya kebingungan gadis itu saja. Ia tanpa terburu-buru menjelaskan dengan kalimat yang mudah ditangkap gadis itu. Sambil menangkup tangannya lembut di pangkuan.
"Mama tahu, kamu kebingungan soal hatimu, Ica. Tapi kamu harus memilih di antara dua anak mama. Karena tidak mungkin selamanya kamu menggantung perasaan mereka tanpa ketegasan darimu. Mereka punya kehidupan dan masa depan yang harus mereka tempuh.
"Cinta. Apa kamu mencintai Gara atau mencintai El? Kamu harus pilih dan melepaskan salah satunya."
"Cinta?" Suara Ica gamang.
"Iya, cinta. Kamu tahu cinta?"
"Cinta seperti cinta pada Bibi An dan Paman Han?"
Lilian menggeleng dan tersenyum sabar. "Lebih dari itu, Ica. Cinta terhadap keluarga berbeda dengan cinta terhadap belahan jiwa."
"Belahan jiwa?" Ica makin tertarik dan ia menggeser posisi duduk semakin dekat untuk mendapatkan lebih jawaban.
"Belahan jiwa seperti cerita dongeng tentang seorang Pangeran yang mencintai tuan Putri. Kamu pasti tahu banyak kisah tersebut, bukan?"
Ica mengangguk antusias. "Tahu. Ica suka baca."
"Dan kamu tahu, kan bagaimana pangeran selalu berusaha menyelamatkan tuan putri dari bahaya. Selalu melakukan apa pun demi kebahagiaan tuan putri karena dia sangat mencintainya."
Ica mengangguk makin kencang.
"Pangeran tersebut ada di dalam dua putra mama dan kamu tuan putrinya. Mereka selalu ada buat Ica. Menjadi pangeran yang berusaha membuat Ica bahagia dan mereka tidak akan pernah membiarkan Ica terluka. Tapi tuan putri hanya hidup untuk satu pangeran saja, bukan? Mama minta kamu pikirkan baik-baik, Ica. Pangeran mana yang benar-benar mencintai Ica dan Ica mencintainya. Pangeran yang benar-benar Ica inginkan untuk hidup bahagia selamanya."
Lilian mengusap kepala Ica yang sedang berpikir. Berpindah pada pipinya dan mengusap dagu seperti ibu kandung yang begitu menyayangi darah daging sendiri. Bahkan bukan seperti lagi, tapi sudah dianggapnya anak sama posisinya dengan dua anak kandungnya yang lain di hati Lilian.
"Jangan terburu-buru untuk memutuskan. Putuskan saat Ica sudah yakin dengan pilihan Ica, ya?"
"Iya, Mama." Lilian membawa Ica ke pelukan. Merasa lega karena ia tahu Ica mengerti kali ini. Mengerti tentang perasannya dan tahu harus memilih siapa.
***
Lilian tidak bisa tinggal lebih lama. Lagipula Ica menolak ketika ditawari tinggal di rumah, pikirnya di rumah akan lebih ramai dengan banyaknya orang daripada tinggal di apartemen yang sepi. Namun Ica mempertegasnya dengan gelengan kepala. Ia tak bisa meninggalkan tutu, itulah alasannya.
Kepergian Lilian menyisakan lengang di segala penjuru. Ica tidak suka suasana itu. Ia mulai menyibukkan diri dengan Tutu. Tutu bosan. Dengan tugas kursusnya. Bosan lagi. Lalu ke Tv. Tv bosan, kembali ke Tutu dan begitu terus, berkisar sepuluh menit sekali borgonta-ganti. Bosan-bosan tidak mau menyingkir dari sirkulasi monoton tersebut.
Kemudian lelah dan Ica membanting tubuhnya ke sofa. Berhenti melakukan apa-apa selain menatap atap langit-langit. Menjadikannya kanvas khayalannya tentang; kerajaan, hutan, nenek sihir jahat, naga, monster, putri cantik, hingga pangeran tampan.
Dari kecil, ia selalu membayangkan hidupnya akan sekeren cerita dongeng. Sama percis. Kendati demikian, Ica tidak sebodoh itu untuk ditipu dunia akan sama dengan cerita dongeng.