Sejam lalu, Ica masih di tempat kursus. Dua jam kemudian, ia berada di rumah lagi-lagi berteman sepi. Satu jam kemudian, Lilian datang, memaksanya pergi ke salon.
"Ica harus ikut mama malam ini. Ada pesta penggalangan dana. Mama yakin El akan datang nanti."
Sebuah pesta yang rutin diselenggarakan oleh kaum konglomerat yang setiap tahunnya mampu menyentuh angka fantastis, yaitu triliunan rupiah.
"Benarkah?"
Seharusnya begitu, karena perusahaan Oxen Grup termasuk salah satu donatur terbesarnya. Tentu saja sebagai pemimpin perusahan, El tidak boleh melewatkan pesta tersebut. Selain reputasi tentu saja. Namun, mengingat El tidak ada kabar, Lilian ragu pria itu akan datang.
"Tentu, saja. Untuk itu, kita harus ke salon."
Pesta terdengar selalu menyenangkan dan meriah. Ica tidak memiliki alasan untuk tidak senang. Justru ia yang lebih antusias dari siapa pun.
***
Baru beberapa jam lalu El menyelesaikan konferensi yang dihadiri ratusan pebisnis dari berbagai penjuru Asia. Dan sekarang ia berada di bandara Changi, bertolak kembali ke Jakarta untuk menghadiri pesta penggalangan dana.
Kali ini ia datang bukan karena alasan keharusan sebagai seorang pemimpin perusahaan yang menjadi donatur terbesar acara tersebut, melainkan karena Ica yang dikabarkan datang ke pesta perdananya sebagai istri CEO Oxen Group.
Jika diingat sikapnya beberapa hari ini, El menyesal sudah mengabaikan istrinya. Bukan tanpa alasan ia melakukannya, melainkan semata-mata karena ia meragukan perasaan Ica terhadap El.
Egois memang. El seperti mementingkan perasaannya ketimbang perasaan Ica, tapi El harus tetap menjaga jarak. Memberi waktu sejenak untuk saling memikirkan hati masing-masing. Menurutnya, itu penting untuk mendapatkan keyakinan kuat, terutama untuk Ica pribadi. El sudah antisipasi akan kesiapan hatinya saat hal buruk terjadi, ialah Ica yang masih menyukai Gara.
El akan pelan-pelan mundur. Menyimpan sendiri patah hati season kedua dan mulai belajar melepaskan. Setelah itu ... ia bahkan tak yakin apa ia bisa menjalankan rencana sistematisnya satu-satu. Hatinya bukan bisnis, yang bisa mudah diatur dengan uang dan logika. Hatinya adalah pecahan sentimental yang gampang rusak dan sulit untuk diperbaiki.
El memandang keluar jendela pesawat. Pada sayapnya dengan kosong. Lalu seseorang datang menyapanya.
"Anda Elazar Rayana?"
Seketika ia menoleh untuk mendapatkan putri duta besar Indonesia untuk Singapura, baru satu hari yang lalu mereka berkenalan. Firenza? Vinza? Atau Vanza? El merasa tidak penting untuk mengingatnya.
"Well, keberuntunganku kita duduk bersebelahan di pesawat bisnis ini."
El tersenyum kecil. "Duduklah."
Pria itu memang sudah beristri, tapi pesonanya tidak sanggup tertolak. Bagi Farinza satu pesawat, bahkan duduk bersebelahan dengan pria seksi dan paling diincar sebgain wanita di Jakarta adalah keberuntungan langka. Farinza tidak mungkin melewatkan keberuntungan tersebut yang selalu ia idamkan.
Selanjutnya mereka terlihat dalam obrolan. Lebih tepatnya gadis itu yang lebih banyak mengobrol. Sementara El hanya menanggapi sesekali jika ditanya saja. Seseorang pasti akan berpikir, gadis itu cenderung melakukan percakapan satu arah. El tersenyum masam, gadis itu tidak menyadarinya dan terus memaksa El berbicara.
Padahal ia sudah memalingkan wajah, sebuah isyarat tak tersirat enggan meneruskan obrolan. Sayangnya, gadis itu terlalu antusias bertemu El. Jika bukan karena sopan santun, mungkin El akan menyuruhnya diam.
Mungkin El mempunyai teman bicara satu jam ke depan, tapi hatinya masih saja kosong.
***
Ica terlalu antusias, sampai Gara harus selalu berada di dekatnya agar tidak hilang di tengah kerumunan di ballroom tersebut.
Ia juga harus ada di saat orang-orang mulai mengajak Ica bicara. Gara tidak ingin saat orang-orang itu mulai membahas ranah obrolan yang high class, Ica kebingungan. Gara juga tidak mau, orang-orang itu berpikir perempuan macam apa yang sudah dinikahi Elazar Rayana? Bagaimana bisa seorang pria yang menghasilkan investasi jutaan dollar menikahi gadis bodoh. Sungguh menggelikan dan pasti akan menganggap Ica sebagai lelucon tak habis-habis.
Jadi, sebelum orang-orang itu mulai berpikir seperti itu dan sebelum Ica dipermalukan, Gara sudah menyelamatkan Ica. Sebisa mungkin menghindari orang-orang yang mulai sadar keberadaan istri El dan berebut mencari simpati.
"Kamu haus? Sebaiknya kamu minum." Gara menyodorkan segelas es limun saat ia mengajaknya ke deretan prasmanan.
"Semua orang ramah."
"Ya, ramah. Jika ada maunya saja," gumam Gara sambil lalu.
"Ica suka pesta," katanya lagi di sela menyesap es limunnya.
"Kamu cantik dan dewasa malam ini."
Ica menunduk untuk melihat long dress tertutup, membungkus ketat pinggulnya. Warna peach. Rambutnya di-curly pada ujungnya dan terselip tiara kecil pada dua kepangan kanan kiri yang disatukan di belakang kepala.
Gara akan sungguhan beruntung kalau El tidak datang malam ini. Ia bisa menikmati keindahan Ica sampai tengah malam. Semoga saja. Namun doanya tidak mujarab. Belum semenit doanya dibatin, sosok El menyentak kepala-kepala untuk menoleh ke arahnya.
Bisik mulai berdengung kencang. Itu tidak akan terjadi jika ia tidak menggandeng seorang wanita ke pesta. Nyatanya ia menggandeng putri dari duta besar Indonesia untuk Singapura yang kebetulan juga menghadiri pesta yang sama.
Dua sosok itu melangkah elegan masuk ke tengah kerumunan. Sesekali berhenti untuk menanggapi jabat tangan dan ramah tamah. Lalu mereka melintas untuk menghampiri Lilian yang bertampang bingung.
"Perkenalkan, Bu Lilian saya Farinza, putri dari Yanuar Renggana. Duta besar Indonesia untuk Singapura."
"Saya tahu." Lilian memotongnya dengan cepat sebelum gadis itu berbicara lebih banyak tentang dirinya. "Senang bertemu denganmu," sambil menjabat tangannya.
"Jadi, El." Lilian beralih ke anaknya yang luar biasa tampan dan muram. "Kenapa kalian bisa datang bersama?"
"Aku satu pesawat dengan Firanza."
"Maaf, namaku Farinza." Farinza mengoreksi.
"Farinza." El membenarkan kekeliruannya tanpa minat. "Kebetulan tujuan aku dan dia sama-sama ke pesta. Kenapa tidak kami datang bersama?"
Lilian sedikit tercengang dengan jawaban santai putra sulungnya yang terbilang cuek. "Di mana pikiranmu saat kamu tiba-tiba pergi dan sekarang datang dengan pasang muka tak bersalah."
"Apa maksud Mama?"
"Kamu meninggalkan Ica begitu saja dan tidak menjelaskan apa-apa."
El seketika menaruh perhatian pada istrinya yang luar biasa cantik dan seksi. Hasrat membuat tenggorokannya memadat. Terutama bibir itu yang basah dan merah berani, ingin sekali El cecap sampai pagi. Sedikit bermain dan memberi hukuman kepada Ica karena telah berani memamerkan lekuk tubuh di depan ratusan tamu hadirin. Janji malam ini. Namun semua tergerus lebih cepat dari lirikan matanya yang berpindah pada tangan istrinya yang digenggam Gara amat posesif. Hasrat langsung lenyap dimakan api cemburu.
Ia ingat alasan ia menjauhi Ica, langsung memadamkan api cemburunya dan bersikap tidak masalah dengan pemandangan itu, meski ia tak akan pernah baik-baik saja walau menyangkal terus.
"Kembali melihat ibunya. Dingin. "Akan lebih etis jika masalah rumah kita bahas di rumah, Ma. Bukan di sini."
Lilian mengersah sebelum mengatakan. "Baiklah, kita bahas ini di rumah sampai tuntas."
Siapa pun tidak menduga ketika Ica memeluk El. "Ica kangen El."
Lilian menutupi senyumnya dengan deheman anggun. Gara terpaksa menyeringai, mengejek kelakuan abangnya yang bereaksi kaget. Farinza perlahan menyingkir karena bukan lagi bagian dari pembicaraan keluarga tersebut.